Rabu, 01 Juni 2011

Mempertegas Arah Kebijakan Pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh

Oleh: Muhammad Dayyan


Pendahuluan 

Pelaksanaan syariat Islam di bumi Aceh yang dikenal sebagai ”Serambi Mekkah” ibarat mata air di padang tandus nan memberi harapan bagi tanaman yang kering kerontang. Sejatinya syariat bergelora dalam setiap jiwa sekaligus menjadi inspirasi setiap kebijakan yang ada. Adanya kebijakan pelaksanaan Syaria’at Islam akan membuka jalan menuju pencerahan ummat yang berkeadilan dan kemakmuran materil sekaligus spiritual. Namun fakta syariat seolah ”terpinggirkan” ditengah komunitas pemeluknya. Keindahan Syariat berubah ”muram” karena ambisi pemeluknya terutama elit di Aceh.
Syariat yang secara etimologis (bahasa) bermakna jalan menuju mata air dalam makna ini sesungguhnya mengandung filosofi bahwa syariat Islam adalah jalan menuju pencerahan penjernihan dan pembebasan dari segala kekumuhan, kejumudan, kebodohan ummat. Syariat Islam harus punya “ruh” agar kaffah (tatolitas) bukan “kaffak” (tercerai berai), sepenggal-penggal atau parsial. Syariat Islam harus menyentuh semua sendi, bukan hanya mengatur aspek hukum yang mengedepankan sanksi tapi harus mengakar pada ideologi pemerintah dan masyarakat. Dengan begitu, nilai-nilai Islam akan memancar ke seluruh unsur pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Kita butuh syari’at untuk membangun tamaddun Aceh melalui suatu rancangan ilahiyah. Sehingga masyarakat siap dan unggul dalam pertarungan zaman di tengah arus globalisasi, ekonomi global, budaya materialisme, krisis identitas, dan penjajahan pemikiran yang kini sedang diusung. Diberlakukannya UUPA (Undang-undang Pemerintahan Aceh) adalah entry point karena telah memberi kewenangan bagi pemerintah untuk mengatur tata pemerintahan yang lebih mandiri (self government). Baik kewenangan menentukan sistim politik, birokrasi, ekonomi maupun sosial budaya masyarakat Aceh.
UUPA memberi ruang untuk menentukan identitas Aceh secara khas. Syari’at Islam yang sedang diterapkan sejatinya adalah acuan untuk mengembalikan ruh dan jadi diri masyarakat Aceh itu sebagaimana kegemilangan tamaddun masa lalunya. Maka diperlukan pengelolaan yang benar dan baik oleh seluruh stakeholder sehingga menjadi potensi yang memajukan Aceh masa depan. Syariat Islam bukan sekedar image dengan slogan-slogan, tapi juga membangun sistim dan kualitas umatnya. Sehingga syariat Islam tidak dipahami secara picik yang menimbulkan stigma bahwa Islam itu tidak bertamaddun.
Meskipun mayoritas masyarakat Aceh adalah muslim fanatik namun banyak tantangan syariat Islam untuk dapat diterapkan. Masih ada masyarakat yang phobia (alergi) terhadap syari’at Islam, khilafiah terus terjadi di kalangan umat. Pemerintah selaku eksekutif pelaksana kebijakan, legislatif selaku pihak yang membahas dan mensahkan qanun banyak yang tidak mengerti bahkan cenderung meremehkan syari’at Islam. Buktinya kebijakan penerapan syariat Islam belum dapat menghentikan massif dan intensitas kejahatan di Aceh. Mulai kejahatan dalam birokrasi pemerintahan, lingkungan, kriminal, dan kejahatan politik.  Lalu mengapa syariat Islam sulit diterapkan dan terkesan terus ditentang justru di tengah komunitas muslim?
Wajah syariat harus diangkat dan dibersihkan dari arogansi politik. Ayunan cambuk bukan menyentuh jiwa yang bebal, ilmu hanya menjadi milik ulama dan cendikia, si miskin terus saja merintih dalam kezaliman, keadilan menjadi barang mahal meskipun pemimpin silih berganti, namun tidak menjadi teladan. Beragam maksiat dalam berbagai modusnya makin merajalela. Perampokan, pembunuhan dan perzinaan, pencurian, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan maksiat lainnya terus menghiasi halaman media. Kasus KKN, pengabaian simiskin hanya formula baru dari kebiasaan lama dalam birokrasi kita. 
Tatanan dan sistim sosial politik, hukum, ekonomi, terjadi kecenderungan mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat.  Miskinnya moral aparatur pemerintah yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakatnya juga turut memicu berbagai pelanggaran syariah. Kemaksiatan dalam sistim birokrasi, misal korupsi, sogok menyogok semakin sulit dihilangkan. Dalam sistim politik yang cenderung rakus dan hedonis. Sistim ekonomi yang melahirkan pemilik modal yang kikir dan bakhil. 
Diskriminasi, ketidakadilan masih saja bersembunyi di bawah meja pengadilan. Ironisnya, kita sebagian memarahi syariat Islam. Sebagian lain menjadi hakim jalanan bak pendekar. Kesadaran dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam akibat kesenjangan pendidikan kita. Dualisme sistim pendidikan (umum dan agama) dan keringnya muatan agama disetiap jenjang pendidikan serta minus keteladanan turut menjadi pemicu. Sistim pendidikan belum memberi arah dan masih jauh dari tujuan pendidikan Islam itu sendiri (baca: pendidikan Islam).
Realitas inilah yang perlu disadari dan pahami oleh pemerintah. Maka perlu diperjelas arah kebijakan pelaksanaan Syari’at Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan tersebut terutama dalam merumuskan qanun yang dapat memangkas akar masalah yang menjadi biang kemungkaran menuju pencerahan ummat yang berperadaban (bertamaddun). Kita perlu membangun kesadaran kolektif untuk menghentikan kepentingan kelompok yang masih menyandera negeri kita mulai dari birokrasi yang korup, pemusatan kekuasaan di tangan kekuatan politik yang rakus, pemilik modal yang kikir dan bakhil.Penerapan syariat Islam tidak hanya sebatas simbolis, seremonial dan slogan. 
Juga Syariat Islam di Aceh hendaknya tidak hanya berkutat pada soal memberantas khalwat, judi, maisir dan menertibkan perempuan tidak berjilbab yang dianggap biang kemunkaran atau maksiat.  Kebijakan syariat Islam sebagaimana diatur UU Nomor 11/2006 hanya suatu ketentuan (formalitas).  Penerapannya mensyaratkan kesadaran muslim. Qanun sebagai usaha rekayasa sosial masyarakat sejatinya juga sebagai kesadaran masyarakat. Pada tataran konsepsi hukum hanya sebagai kumpulan pendapat, gagasan yang sangat kaya, tapi pada tataran praktik harus juga mampu memberi rasa keadilan. Di sini, aparatur penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) sejatinya ketika berhadapan dengan kasus, harus memutuskan secara jelas dan tegas. 
Pelaksanaannya dalam kontek kebangsaan, belum ada contoh di tempat lain kecuali baru diterapkan di Aceh yang polanya masih mencari bentuk ideal. Maka akan terus diuji melalui diskursus dan kritik agar pelaksanaan ke depan akan lebih baik, benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Sebab bicara syariat Islam, tidaklah berada dalam ruang kosong tapi terkait dengan konteks sosio-kultural masyarakat. Pada masa Nabi, pencuri pernah dilepas dan Nabi marah pada yang menangkapnya karena ada kondisi yang memaksa seseorang berbuat demikian. Jelas bahwa Syariah Islam sebagai ajaran yang sangat komprehensif, mengutamakan kesejahteraan semua, ketika diimplementasikan.

Diperlukan Qanun anti Maksiat 
Penerapan kebijakan unsur-unsur syariat Islam di Aceh sebagai interpretasi kreatif dari sistem negara. Karenanya, perlu ada ijtihad hukum dari para ulama, cendikia sehingga menghasilkan suatu qanun yang bisa diikuti oleh semua lapisan masyarakat muslim yang berdomisili di Aceh. Kalaulah kita memang ingin menghentikan maksiat sebagai implementasi syariat Islam di Aceh, mestinya memenuhi unsur keadilan dan menyeluruh. Bukan dengan menghentikan sebagian maksiat tapi melakukan, membiarkan, dan mendukung maksiat yang lain. Ini sangat kontra produktif.
Maksiat secara umum merupakan suatu bentuk perbuatan munkar karena merugikan diri dan orang lain sehingga mendapat kemurkaan Allah Swt. Sejatinya cukup dirumuskan hanya satu qanun, yaitu qanun anti maksiat. Baru kemudian disusun sistematika dan mekanismenya secara konprehensif. Mulai bentuk, cara pencegahannya dan jenis sanksi hukum yang akan ditetapkan yang dibuat dalam beberapa kitab atau buku qanun. Cukup satu qanun saja dibuat kalau mau menerapkan syariat Islam kaffah di Aceh. Qanun ini mencakup seluruh perbuatan berkait maksiat. Sedangkan petunjuk teknis dan pelaksana (juknis/juklak)nya dibuat dalam buku qanun lengkap dengan pasal dan ayatnya. Misalnya, buku satu, mengatur tentang maksiat khalwat, zina, onani, homoseksual, lesbian dan menuduh orang lain berbuat zina, perkosaan, dan kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Buku dua, tentang maksiat pencurian, korupsi, penipuan, kecurangan, pencucian uang, perampokan, pencopetan, makan harta anak yatim, uang mesjid, uang takziah, tidak bayar zakat dan lainnya yang menyebabkan kerugian materil bagi pihak lain atau negara. Buku tiga tentang maksiat perjudian, lottre, adu binatang (ayam, kerbau, lembu dll). Buku empat, tentang maksiat merusak lingkungan mulai dari penebangan liar, membuang limbah/sampah sembarangan, merusak lahan, merokok, merusak biota laut/sungai/danau, mengganggu/membunuh satwa fauna yang menyebakan terganggunya keseimbangan ekosistim, termasuk ngebut-ngebutan di jalan. Buku lima, maksiat tentang pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan, kekerasan fisik dan psikologis yang mengancam jiwa seseorang (baik yang terjadi dalam masyarakat maupun rumah tangga).
Buku enam, maksiat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (mulai pelaggaran hak cipta, penipuan ilmiah, plagiat, hacker, perusakan website, membuat/menyebarkan situs porno, dan beragam jenis kemaksiatan lainnya) yang semakin canggih dalam dunia maya. Buku tujuh, maksiat tentang politik (mulai money politik, mengkhianati suara rakyat, mengabaikan amanah, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, kongkalikong, menjual agama untuk kepentingan politik, surat tupai dan sebagainya). Buku delapan, tentang maksiat dalam ekonomi seperti penimbunan barang, penipuan harga, curang, menjual barang yang diharamkan syariat, mengurangi takaran, menggunakan kekayaan untuk bermewah-mewah di tengah saudaranya yang miskin dan lapar.
Buku sembilan tentang maksiat lahir bathin, riya, ujub, takabur, iri, dengki, khianat, fitnah, hasud, suka mengintip, membuka aib orang lain, durhaka pada orangtua/suami/istri dan sebagainya. Buku sepuluh, tentang maksiat dalam bidang ibadah berupa, meninggalkan shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya. Tentu, masih banyak bentuk dan jenis maksiat lainnya yang perlu dirumuskan oleh para ulama dan cendikia muslim di Aceh. Misal, mana lebih maksiat korupsi yang dilakukan seorang pejabat dengan judi yang dilakukan beberapa orang-orang miskin? Adanya qanun anti (segala macam) maksiat yang disusun secara komprehensif itu akan mudah melihat aspek apa saja yang kemudian perlu penekanan pelaksanaannya.
Dapat dengan mudah menganalisis batasan maksiat apa saja yang bisa ditanggulangi oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, dan individu sebagai bentuk tanggung jawab atas keberlansungan pelaksanaan syariat Islam. Dan juga perlu kejelasan batasan tanggung jawab yang diberikan kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi lagi aksi jalanan yang bisa berperan sebagai polisi, jaksa dan hakim secara sekaligus. Dalam memberantas maksiat, Rasullulah Saw mengilustrasikan ibarat kita naik kapal laut; “meskipun sudah membeli tiket dan berhak atas tempat duduk masing-masing namun penumpang wajib mencegah bila salah satu penumpang mencoba membocorkan kapal meskipun di bawah tempat duduknya”.
Apa pun jenis maksiatnya tetap mengundang kemurkaan Allah yang efeknya tidak hanya pelaku maksiat. Sudah kita rasakan bagaimana bencana ditimpakan berupa kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banjir bandang. Semua itu karena ulah segelintir manusia yang senantiasa inkar kepada Allah-Rasul, lebih mengedepankan nafsu untuk bermaksiat dengan berbagai bentuk dalam mengikuti “syariat” Iblis yang dilaknat Allah.

Urgensi Birokrasi yang berkarakter Syari’at
Syariat tidak hanya dalam bentuk hukum (qanun) namun harus sampai pada prilaku birokrasi yang Islami. Yaitu birokrasi yang mampu menunjukkan semangat kebijakan pelaksanaan syariah Islam itu sendiri. Mulai dari pelayanan birokrasi yang murni berorientasi pada kemaslahatan publik bukan pada kepentingan kapitalistik atau mengutamakan orang yang bermodal. Prilaku buruk yang sudah berlangsung lama dalam pemerintahan Aceh, seperti, program pembangunan yang hanya menghabiskan uang, melahirkan proyek yang mendatangkan keuntungan kepada segelintir golongan harus segera dihentikan. Kemudiaan apa yang disebut proyek fiktif alias siluman dan ditangani oleh yang bukan ahlinya atau penempatannya melihat kepada berapa fee yang akan diberikan atau mendapatkan jabatan berdasarkan pendekatan harus diminimalisir dengan melihat pada keahlian dna kebutuhan masyarakat.
Birokrasi yang berkarakter Islami ditampilkan dalam bentuk pelaksaan pekerjaan yang rapi, benar, tertib dan teratur, transparan, akuntabel merupakan hal yang di syariatkan. Sesbagaimna Rasulullah saw sudah mengajarkan “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”, (HR Thabrani). Maka landasan birokrasi pemerintahan transparan merupakan sistim yang dicintai Allah dan diinginkan oleh masyarakat. Dalam hadis lain Rasulullah mengajarkan; “Allah mewajibkan kepada kita untuk berlaku ihsan dalam segala sesuatu”(HR Muslim). Ihsan dapat bermakna melakukan segala sesuatu secara maksimal dan optimal (transparan dan dapat dipertanggungjawabkan).
Birokrasi yang transparan dan akuntabel akan membawa pada kemaslahan (kebaikan) bagi yang bersangkutan dan masyarakat. Pekerjaan yang berdampak pada kemaslahatan adalah birokrasi yang sesuai dengan aturan serta memiliki manfaat bagi kemaslahatan umum sebagaimana Rasul mengajarkan “diantara baiknya, indahnya keislaman seseorang adalah yang selalu menjauh dari perbuatan yang tidak ada manfaatnya”(HR Tirmizi). Pekerjaan yang tidak bermanfaat adalah perbuatan yang tidak direncanakan atau pekerjaan yang tidak sesuai rencana (penyelewengan, penyalahgunaan, pengingkaran dan pengkhianatan).
Allah sangat menyukai pekerjaan-pekerjaan yang ter-manej dengan baik, sebagaimana firmannya QS: Ash-Shaf ayat 4, “Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” Makna kukuh adanya sinergi yang rapi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dalam surat at-Taubah ayat 71 Allah berfirman; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taât kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”.
Pemerintahan akan berjalan baik, jika dikelola dengan baik dan benar, sebagaimana Ali bin Abi Thalib r.a memberi gambaran “kebatilan (kemungkaran) yang terorganisir dengan rapi dapat mengalahkan kebaikan yang tidak diorganisasikan dengan baik”. Di sini Ali mendorong kita agar melakukan sesuatu yang hak, hendaknya ditata dan disusun dengan rapi agar tidak dikalahkan oleh kebatilan yang disusun dengan rapi. Dominasi kemungkaran (korupsi, kolusi, sogok dan manipulasi) dalam birokrasi sering terjadi bukan karena kuatnya kemungkaran tersebut, tapi lebih karena tidak rapi (rapuh)nya kekuatan (sistim) yang haq.
Pemerintahan yang sesuai syariah berupa prilaku birokrasi yang terkait dan dilandasi dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Jika setiap orang yang terlibat dalam pemerintahan dilandasi dengan nilai-nilai tauhid, maka prilakunya akan terkendali dan tidak akan terjadi prilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) karena menyadari akan adanya pengawasan dari yang maha tinggi, yaitu Allah yang akan mencatat setiap amal permuatan yang baik maupun yang buruk sebagaimana firmannya QS: Az-Zalzalah ayat 7-8, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula”. Maka prilaku korup selama ini meskipun telah ada pengawasan yang berlapis (mulai dari pimpinan, DPR, BPK, Bawasda, LSM dan segala macam) seolah belum efektif dikarenakan tidak melekat dan banyak celah dari keterbatasan manusia.
Nilai iman dan tauhidlah bila menjadi paradigma yang mengorientasikan seluruh perbuatannya untuk mendapat ridha Allah. Hal tersebut akan bernilai ganda sebagai prestasi di dunia juga sebagai amal shaleh yang bernilai abadi sekaligus. Menurut Prof. Didin Hafifuddin penerapan Syariat dalam manajemen memiliki beberapa aspek; pertama, mengubah paradigma dan memperbaiki prilaku birokrasi dengan bertindak secara benar, konsisten, merasa di awasi oleh Allah ketika melaksanaan pekerjaannya sehingga melahirkan tanggung jawab bukan hanya kepada pemimpin, rakyat, tetapi juga kepada Allah.
Manajemen syariah menekankan kekuatan pada aspek Tauhid sehingga seseorang akan benar, jujur ketika diawasi oleh manusia serta akan tetap benar dan jujur ketika tidak diawasi oleh manusia. Kedua, struktur organisasi merupakan sunnatullah dan struktur yang berbeda-beda merupakan ujian dari Allah sebagaimana firman-Nya QS: Al-An’am ayat 165; “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat sisksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dalam mengatur kehidupan dunia, peranan manusia tidak sama karena kepintaran, jabatan juga tidak sama.
Bagaimana kemudian kelebihan yang diberikan dan dipercayakan Allah dapat memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi orang lain. Ketiga, sistim yang disusun berupa keharusan dan larangan (hukum/qanun) harus bersumber dari nilai-nilai Alqran dan hadis sehingga dapat menjadikan prilaku pelakunya berjalan dengan baik. Sistim dimaksud untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya baik yang menyangkut terpeliharanya agama, diri (jiwa dan raga), akal, harta benda serta keselamatan nasab (keturunan) yang merupakan kebutuhan pokok. Pelaksanaan sistim kehidupan dan pemerintahan yang bersih, konsisten dalam semua lini kegiatan akan melahirkan sebuah tatanan birokrasi pemerintahan yang membawa kehidupan yang baik (hayyatan thayyibah).
Pemerintahan yang bersih akan selalu akuntabel (dapat diminta tanggung jawab), transparan (bisa di akses/lihat oleh semua) dan partisipatif (melibatkan semua pihak yang berkepentingan). Pemerintahan yang bersih dijalankan dengan tatakelola yang berorientasi pada kesejahteraan publik/rakyat dengan cara-cara yang diridhai Allah swt.
Kesejahteraan tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat. Realisasi tujuan kesejahteraan dilihat dari perwujudan tingkat solidaritas sosial yang dicerminkan pada tingkat tanggungjawab bersama dalam masyarakat, khususnya pemerintah. Jaminan atas hak anak-anak, usia lanjut, orang sakit dan cacat, fakir miskin, keluarga yang bermasalah, dan penangulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan sosial.
Pemerintahan harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan dan keadilan melalui implementasi syariat Islam. Hal itu harus terwujud dalam pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Suatu masyarakat dapat saja mencapai puncak kemakmuran dari segi materi, namun tidak akan mampu bertahan lama jika lapisan moral individu dan sosial sangat lemah, terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial di tengah masyarakat meningkat, serta pemerintah tidak dapat berperan sesuai dengan porsi secara semestinya.
Sejumlah gebrakan pemerintah Aceh, seperti, pelayanan satu atap, membuka kran investasi dalam dan luar negeri, moratorium logging (penghentian penbangan hutan sementara), dan program kredit pemakmu nanggroe. Gebrakan itu belum dapat dikatakan birokrasi pemeritahannya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, jika sistim birokrasi pemerintahan masih kental dengan mental budak kapitalistik. Mental ingin dilayani, ingin diberi pelicin, kurang disiplin, tidak produktif, kurang inovatif, angkuh, tidak transparan dan ngilimet bila berurusan.

Zakat Sebagai Penjamin Berjalannya Prinsip Clean Government  
Pemerintah Aceh harus memiliki kebijakan yang mampu menjamin berjalannya sistim pemerintahan yang bersih, halal, dan barakah (clean goverment). Yaitu pemeritahan yang dijalankan dengan prinsip-prinsip profetik/kenabian. Zakat menjadi salah satu intrumen sekaligus alat ukur bahwa pemerintahan itu dijalankan dengan prinsip clean govermen. Zakat secara bahasa berarti mensucikan, bertambah, berkembang, dan produktif. Sejatinya harus menjadi orientasi birokrasi pemerintahan Aceh.
Zakat berfungsi sirkulator (mesin perputaran) yang dapat membuat sehatnya kehidupan sosial dan ekonomi. Sebagai sirkulator akan menjadikan harta-harta berputar dengan bagus dan menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Karena terpenuhinya kebutuhan bagi yang mengeluarkan dan bagi yang menerimanya. Sesungguhnya zakat memiliki implikasi lebih dalam bagi terbangunnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Zakat dengan makna kesucian meniscayakan adanya sifat amanah dalam menjalankan tugas atau kewajiban seluruh aparatur pemerintah dalam melayani masyarakat. Dengan orientasi zakat seluruh aparatur pemerintahan akan berusaha mendapatkan rizki yang halal dan barakah sebagai syarat sahnya zakat.
Selanjutnya semangat itu ditransforamsikan lebih luas dengan membebaskan rakyat dari kelompok penerima zakat, selanjutnya menjadi pembayar zakat mal. Mengutip pandangan Iwan Triyuwono (2000) dalam buku: Akutansi Syari’ah, menjelaskan, orientasi zakat dapat membangun keseimbangan antara materialistik (cinta harta) dengan sifat spiritualistik (imani). Keseimbangan tersebut menumbuhkan sifat empati pada realitas sosial (altruistik) dan melumpuhkan keangkuhan (egoistik) yang cendrung menghalalkan segala cara. Andai saja zakat menjadi prinsip pemerintahan di Aceh (mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai gampong), sungguh kesenjangan sosial, ekonomi akan cepat teratasi.
Gilirannya pemerintah akan menjadi bersih, kuat dan berwibawa. Sebab orientasi zakat memiliki makna: Pertama, terdapat transformasi dari bekerja untuk mendapat keuntungan dan kepuasan pribadi, kepada pencapaian zakat (pensucian). Kedua, dengan zakat sebagai tujuan, maka segala bentuk kebijakan, aktifitas, prilaku pemerintahan harus tunduk pada aturan main yang sesuai dengan syari’at Islam.
Ketiga, adanya keterpaduan karakter kemanusiaan yang seimbang antara egois dan sosial--mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Kepentingan egoistik bahwa aparatur pemerintah bekerja untuk mendapatkan gaji, tunjangan, kenaikan pangkat dan lain-lain tetap diperkenankan. Sedangkan altuistik (sosial) mempunyai arti bahwa aparatur pemerintah juga mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan rakyat, alam, lingkungan yang semuanya tercermin dalam kedisiplinan menunaikan zakat. Keempat, zakat mengandung nilai emansipatoris yaitu semangat membebaskan manusia dari ketertindasan ekonomi, sosial, intelektual dan pembebasan alam dari penindasan dan eksploitasi manusia sebagaimana peruntukan zakat (senif).
Kelima, zakat adalah jembatan penghubung antara aktifitas manusia yang duniawi dengan keberadaan manusia yang suci (ukhrawi). Sebagai jembatan akan memberikan kesadaran fundamental (ontologis) bagi diri manusia bahwa segala bentuk kegiatan duniawi selalu terkait erat dengan kedudukan manusia di hadapan Tuhan kelak.
Sistim ini telah terbukti dapat dilaksanakan sebagaimana dicontohkan Rasulullah dan pemerintahan khalifah rasyidun. Dan juga pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis yang memiliki sistim penggajian yang rapi, sistim pengawasan yang baik sehingga pada masanya terkenal dengan clean governance yang berorientasi pada rakyat dan masyarakat. Paling tidak ada empat hal yang penting bagi seorang kepala pemerintahan untuk terwujudnya sistim yang baik. Pertama, ketegasan dalam menentukan sikap dengan argumentasi yang jelas. Kedua, musyawarah untuk mengambil keputusan. Ketiga, transparansi menyangkut pekerjaan, kebijakan bahkan juga menyangkut keuangan dan gizi serta penghasilannya. Keempat, pemahaman yang mendalam terhadap tujuan pemerintahan.

Kesimpulan
Kalau ingin syariat Islam tegak dengan ditaati oleh masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Pemerintah harus menunjukkan keteladanan dalam pelayanan publik. Kalau tidak? Dikhawatirkan akan terus menimbulkan resistensi yang tajam terhadap pelaksanaan syariat Islam. Kunci utama optimalnya implementasi syariat Islam adalah pada keteladanan dari pemimpin, ulama, guru, cendikiawan. Ditentukan akhlak dan keluhuran budipekerti yang ditampilkan mereka pada seluruh aspek sistim pemerintahan dan kesehariannya.
Akhlak adalah kemolekan Islam (the beuty of Islam) yang perlu ditampilkan dalam implementasi syariat Islam di Aceh. Sesungguhnya akhlak melahirkan magnit yang membuat orang tunduk pada ajakan pemimpin tanpa harus dipaksa. Allah ‘azza wajalla berfirman “...sekiranya kamu bersikap keras niscaya mereka lari dari sisimu” (QS.AliImran, 159). Misi Rasul Saw adalah menyempurnakan akhlak melalui keteladanannya. Dengan akhlak itu akan diikuti umat sampai saat ini. “Apabila telah datang pertolongan Allah maka kamu lihat manusia berduyun-duyun menuju kepada kemenangan...” (QS.Al Fath,1-4). Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar