Kamis, 09 Juni 2011

Revitalisasi Damai


Oleh: Muhammad Dayyan
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri ini  beriman danbertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan Bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96).
Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi yang kekayaan alam melimpah ruah tak ternilai serta ditopang oleh budaya masyarakat yang terkenal religius. Namun kondisi socialnya terus dalam himpitan konflik dengan menyisakan trauma psykis. Begitupun kita selaku masyarakat muslim meyakini dan memandang setiap persoalan ada jalan keluar hingga damai dan bahagia dunia akhirat dapat diraih.


Upaya mewujudkan damai yang hakiki di Aceh, salah satu entry point adalah mengkoordinir potensi religius masyarakat. 
Dalam kaitan ini, tekad membumikan hukum dan syari’at Islam  tidak bertendensi politis sehingga memunculkan dengan wacana simbol-simbol, tetapi harus konstekstual dan sungguh-sungguh. Damai yang kita pekikkan mesti mengikutsertakan Allah sebagai penopang kebijakan. Sebab dalam esensi ajaran Islam, bahwa setiap keberhasilan dan perjuangan karena disertai rahmat-Nya---Allah Maha Rahim dan Rahman. Inilah agaknya yang selama ini terasa ditinggalkan sehingga setiap kebijakan lebih mengedepankan aspek teknis secara mekanik, bukan ditopang  atas mengharap ridha Allah SWT. padahal Islam dan Syari’at dalam terminologi Aceh, lage zat ngon sifeut.

Syari’at Islam adalah sumber inspirasi seorang muslim yang notabene dipeluk masyarakat Aceh bagi menjalani kehidupannya. Sebagai hukum Allah bertujuan menegakkan kemaslahatan, kedamaian, dan kebahagiaan ummat manusia dunia dan akhirat sebagai manifestasi sifat rahman dan rahim Allah kepada semua makhluk di bumi. Disinilah perbedaan dasar dengan hukum ciptaan manusia dalam konsep kedamaian. Lalu, keadilan adalah cita-cita mulia dalam pandangan Tuhan, dan sifat adil merupakan jalan menuju taqwa setelah iman kepada Allah.

Islam diyakini sebagai ajaran universal, tidak terbatas waktu dan ruang. Al-Quran dan Hadis adalah sumber pokok ajarannya dengan menyatakan lingkup keberlakuan ajaran yang diseru Nabi Muhammad SAW, yaitu rahmatan lil’alamin. Dengan begitu sejatinya Islam harus dilaksanakan secara teguh, tidak main-main apalagi dipermainkan dengan target-target politik. Sesungguhnya bila itu diterapkan maka tidak akan ada konflik serta manusia selalu cendrung kepada jalan kedamaian.

Dalam realitas kehidupan yang dialami khususnya di Aceh, prilaku yang menyimpang dari ajaran Islam itu begitu kentara, seperti prilaku ketidakadilan, dekadensi moral, KKN, hidup hedonis dan sebagainya. Sisi lain msyarakat menjadi objek dari penindasan dan ketidakadilan yang berlaku. Salah satu contoh berapa banyak kasus korupsi, manipulasi, dan sikap hidup berfoya yang ditunjukkan pemimpin Aceh, namun hukum tidak pula menjamah mereka. Bagaimana arogansi para anggota dewan kita yang sebelumnya mereka diberi amanah sebagai perahu aspirasi rakyatnya? Tapi, betapa pula meraka telah melupakan masyarakat itu karena begitu asyik memperjuangkan gaji dan tunjangan pribadi para pemimpin kita. Sementara secara getol pula digaungkan Syari’at Islam melalui upara-upacara seremonial, tapi dalam realitasnya prilaku ajaran Syari’at itu tidak pernah mereka gunakan dalam pola hidup maupun sistim kepemimpinan mereka.

Dalam kaitan tersebut, Islam telah menegaskan pula prilaku itu sesungguhnya pengingkaran pada Tuhan (kufur). Syari’at yang bercita-citakan keadilan dan harmonisasi sosial sepertinya tidak lagi mampu mengontrol. Itu pula yang sering menimpulakan pertanyaan awam, apakah Syari’atnya yang salah atau penganut Syari’at yang mengabaikan? Buktinya, berbagai tragedi yang dialami, seperti pembunuhan, penjarahan dan kejahatan kemanusiaan di Aceh yang membuat hukum seperti sudah terkubur. Kekhawatiran masyarakat mencapai puncaknya ketika budaya supremasi humum, sistim pemerintahan dengan otonomi, belum berdampak pada keadilan masyarakat dan keamanan jiwanya, belum memberi peluang bagi masyarakat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dalam kondisi kegamangan rakyat, membuka ruang terjadi disorientasi sosial, dan disintegrasi mulai dari diri, dan keluarga, masyarakat bahkan bangsanya sendiri. Mungkin disintegrasi kehidupan bila ditela’ah atas fakta-fakta yang muncul setiap saat dari balik gumpalan luar. Bila sampai fase itu, maka bayang-bayang kehancuran begitu mengerikan.

Kehidupan aktual kita semakin menggelisahkan karena didominasi oleh fenomena menyeramkan. Bagaimana peristiwa yang carut-marut kadangkala sulit dan sukar dilacak urutan logisnya. Dalam hal ini media masa turut pula memberi pengaruh ciri kultur global yang telah mendominasi dunia dalam menenggelamkan realitas, menggiring berbagai peristiwa dan menyederhanakan berbagai masalah.

Masyarakat yang realitas aktualnya dan kondisi objektifnya seperti itu, tersembunyi berbagai ancaman yang sewaktu-waktu meledak dan menghancurkan segala-galanya yang melebihi kualitas dan kuantitas dari pada realitas atau kondisi yang tampak dipermukaan.

Realitas aktual masyarakat yang beringas, keji, dan culas adalah cerminan bathin yang gelisah, keruh dan rapuh, cermin sebuah masyarakat yang sedang sakit dan memerlukan pengobatan. Kondisi tersebut merupakan cerminan otentik individu yang berpegang kepada nilai pribadi dan masyarakatnya. Konflik bathin masyarakat yang menggelora dapat memberikan dorongan irrasional, yang selalu meminta kesenangan yang berlebihan dalam hidup, akan terefleksi pada prilaku lahiriah yang reaktif, rusuh dan bahkan kanibal.

Itulah realitas negeri kita hari ini , sangat memprihatinkan memang, beberapa bagian dari tanah air kita terserang bencana alam yang berat. Baik buatan cuaca alamiah, maupun buatan tangan-tangan manusia karena pembabatan hutan semena-mena, pengrusakan ekosistim, dan ekploitasi alam yang tak terkendali. Lambat laum kebangkrutan akhlak manusia daerah ini akan menimbulkan ekses negatif bagi keutuhan hidup berbangsa dan bernegara.

Berbagai prilaku yang bertentangan dengan tata nilai tersebut merupakan sebuah gambaran dunia yang sedang mengalami keguncangan yang bersumber dari keguncangan rohani serta dominasi pandangan dan gaya hidup materialistis. Individu semakin kehilangan identitas dirinya, dimana untuk sekedar bertahan saja ia harus menyerahkan berbagai potensi dasarnya kepada pemilik modal yang dengan uang dan kekuasaannya telah mendungukan individu secara massif.

Kendati demikian masih ada harapan yang mesti kita pupuk dalam seberkas cahaya iman yang tersisa dalam dada kita. Cahaya iman itu merupakan bahan bakar bagi hati nurani seseorang. Nurani sebagai sumber cahaya perdamaian hakiki mesti ada ikhtiar yang sungguh-sungguh dari kita semua untuk diajak berdamai. Karena tonggak perdamian hakiki sesungguhnya terletak pada prestasi kita membuat memorandum of understanding (MoU) dengan hati nurani. Disinilah kita mulai susuri dan revitalisasi damai yang langgeng.

Revitalisasi damai tersebut adalah segera menghentikan tindakan immoralitas apapun yang bertentangan dengan MoU hati nurani yang dalam bahasa ritual agama kita sebut taubat.

Taubat adalah kesadaran batin kita yang mendalam. Taubat, penyesalan dan permohonan ampun merupakan sebuah sikap yang benar terhadap masa lalu. Ia adalah energi yang membangkitkan kembali kesadaran bathin kita. Selanjut akan merangsang kemampuan qalbu untuk menangkap cahaya ilahi; cahaya yang dapat mengetahui dan membedakan hal-hal yang masih samar dan rancu serta semu.

Maka pengakuan yang tulus mengakui kezhaliman dirinya, selanjutnya hanya Allah yang dapat melimpahkan keadilan hakiki kepadanya sehingga dalam dirinya akan tumbuh suasana psikis yang penuh harap terhadap pertolongan dan curahan kasih sayang-Nya. Sebab keyakinan yang haqqul limpahan pertolongan, kebaikan dan kemuliaan-Nya semata dapat memperoleh ampunan dari perbuatan zalim yang dilakukannya sekaligus menjinakkan amarah bathinnya yang telah meliarkan nuraninya.

Dalam curahan ampunan Allah dan rangkulan kasih sayang-Nya yang absolut Maha sempurna; Tuhan Maha Pemurah dan Pemberi rahmat, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang hati manusia menjadi tentram setentram-tentramnya. Sebab ketika ampunan dan perlindungan Allah menyelimuti bathin manusia akan meredam gejolak nafsu angkara murka, ketika itulah ketenangan yang hakiki bertahta dengan kokoh dalam tiara qalbunya. Sejatinya starting point perdamain hakiki adalah berdamai dengan hati nurani masing-masing.  

Cahaya hati yang muali padam mesti kita siram denga bahan bakar berupa zikir dan pikir. Zikir dan pikir merupakan klausul MoU perdamaian dengan hati nurani yang harus dipatuhi. Zikir mengingat Allah dalam setiap situasi kemanusiaan kita serta keluar dari suasana lupa dan lalai yang menjadi celah syaithan memadamkan cahaya bathin kita. Pikir merupakan upaya refleksi untuk memproduk kebijakan yang sehat dan menentramkan semua orang.

Berzikir secara teratur dapat melembutkan hati. Dengan kelembutan hati, maka kita dapat melihat kebenaran dengan terang-benderang dan bersedia mengikuti Syari’at Allah secara subtansi dan kaffah (menyeluruh), serta terpelihara diri, serta masyarakat dari konflik yang menggelisahkan. ”kelembutan hati merupakan kelembutan yang sangat raksasa yang tersimpan dalam diri manusia”, kata Abu Ridha dalam bukunya Ricik-Ricik Spiritual Islam. Bahwa dengan kelembutan hati seseorang dapat menghimpun orang lain bersamanya. Sebaliknya, hati yang liar, kasar dan keras membatu menyebabkan orang lain lari. ”maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawkkal kepada-Nya (QS: Ali Imram ayat; 159).

Selanjutnya kita mantapkan arah pengabdian kita secara benar. Pengabdian yang benar bertolak dari dan menuju kepada pengakuan ”tidak ada ilah (yang patut disebab) selain Allah” yang disebut ”tauhidul ibadah”. Selanjutnya keteladanan yang benar dalam menerapkan nilai-nilai ilahiyah sehubungan dengan realisasi pengebdiannya kepada Allah SWT ialah realisasi pengakuan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”. Inilah yang disebut ”tauhidul uswah”.

Kedua tauhid itu menjadi pilar utama peradaban Islam yang damai (darussalam) sekaligus landasan Syari’at Islam itu sendiri. Klaim idealnya (khairu ummah) terletak pada konsistensi nilai-nilai non-material (iman) sebagai keyakinan bersama dan realisasi tuntutan logisnya (amar ma’ruf nahy mungkar) dalam seluruh pola aktual kehidupannya (QS: Ali Imran ayat; 110).

Maka ketika negeri yang kaya raya ini penduduknya hidup dalam kemiskinan dan kenestapaan adalah kegagalan kita berdamai dengan hati nurani (QS: al-A’raf ayat; 96). Mari kita bangun  negeri dan bangsa ini dengan kekuatan hati nurani dalam koridor Syari’at Allah sebagai penuntun untuk membebaskan masyarakat dari ketakutan, ketidakadilan, kebodohan. Kita rajut perdeamaian dengan hati nurani kita putuskan kebijakan dan bekerja dengan hati nurani menuju perdamian hakiki. Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar