Sabtu, 18 Januari 2014

Moral Dalam Kebijakan Publik



Oleh: Muhammad Dayyan

Sangat menarik seminar nasional yang dilaksanakan oleh Jurusan Syariah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mengangkat tema “Hukum, Moralitas dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam” pada 7 November 2013 lalu. Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA salah satu nasumber menegaskan bahwa hukum syariat berperan penting dalam internalisasi moral para pengambil kebijakan publik terutama di Aceh. Menurut beliau Syariat Islam sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk ditegakkan terutama dalam pelaksanaan kebijakan publik. Lebih jauh Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA menjabarkan bahwa nilai moral pemimpin menjadi inti dari penegakan syariat dengan menunaikan seluruh kewajibannya selaku khalifah sehingga hak-hak asasi manusia bisa terpenuhi.  

Dari wacana hukum dan moral tersebut tulisan ini akan mendiskusikan urgensi moral dalam kebijakan publik. Karena rendahnya komitmen moral dalam suatu kebijakan publik telah berimplikasi pada melebarnya kesenjangan sosial ditengah masyarakat. Kebijakan yang hanya berorientasi keuntungan pada fee proyek pembangunan bukan saja tak bermoral namun telah menjadi lumbung bagi penumpukan harta dengan berbagai cara bagi segelintir elit. Sementara hak-hak publik untuk mendapatkan pembangunan yang berkualitas dan bermanfaat secara jangka panjang terabaikan dan ternoda.
Deficit moral para pemimpin telah berimplikasi pada semakin sulitnya rakyat untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, ekonomi yang berkualitas. Padahal dalam konstitusi Negara hasil amandemen UUD ’45 pasal 28C telah dengan terang disebutkan tanggung jawab pempimpin untuk memenuhi Hak Asasi Manusia dalam bidang ekonomi bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan ummat manusia. Selanjut dalam pasal 28H disebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (2) setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.  Itulah Hak Asasi Manusia merupakan jembatan menuju perilaku beradab yang diciptakan dan diakui oleh masyarakat dunia dengan asas keadilan dan moral yang telah diterima atau dimiliki bersama oleh setiap orang semata karena kita manusia.
Moral pada dasarnya semakna dengan sopan santun, norma, nilai menyangkut bagaimana berprilaku sesuai dengan tuntutan norma-norma, nilai-nilai yang diakui oleh individu atau kelompok ketika bergaul dengan individu atau kelompok lainnya didalam masyarakat. Tujuan utama dari berprilaku secara etika dan moral adalah mencapai kehidupan yang lebih baik. Menurut Muthahari (2004; 20) perbuatan manusia yang dapat disebut sebagai perbuatan bermoral (akhlaki) adalah perbuatan yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari nilai materil. Artinya perbuatan sesorang tidak hanya didorong oleh motivasi untuk mendapatkan upah materil melainkan nilai yang tidak bisa diukur dengan harga materi. Karena perbuatan yang bermoral mempunyai nilai yang lebih tinggi dan manfaat yang lebih mulia. Menurutnya perbuatan akhlak dan moral yang benar adalah dengan memasukkan dalam kategori penyembahan atau pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain saat sesorang menjadikan mandat Allah SWT dan keridhaaan-Nya sebagai titik tolak segala aktifitas dan landasan program hidupnya serta tujuan yang hendak dicapainya, niscaya seluruh kehidupannya, sedari lahir hingga meninggalnya dan menjelma menjadi cahaya akhlaki atau bermoral.
Maka dalam perumusan kebijakan publik pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur sistem keuangan publik dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun daerah APBD. Dan apa saja pendapatan pemerintah adalah uang publik dipandang sebagai amanah ditangan penguasa dan harus diarahkan, pertama-tama, ditujukan pada lapisan masyarakat lemah dan orang-orang miskin sehingga tercipta keamanan masyarakat, kesejahteraan umum dan pendistribusian pendapatan yang adil diantara berbagai lapisan masyarakat. Pemimpin yang bermoral akan mendahulukan kepentingan masyarakat bukan kepentingan memperkaya dan memuaskan diri dengan berbagai fasilitas Negara yang kadangkala sudah melampau batas kewajaran sementara rakyat masih banyak yang kesusahan.
Sebagaimana Alquran dengan tegas menyatakan bahwa anggaran publik jangan hanya beredar dikalangan para pejabat atau orang kaya “Apa saja harta rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu” (QS: Alhasyr; 7). Alquran juga menegaskan bahwa dalam harta orang kaya ada hak orang miskin “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS: Alma’arij; 24-25).
Maka fokus kebijakan pemerintah secara moralitas adalah kesejahteraan umum masyarakat sebagaimana ditegaskan oleh Faqih terkemuka Imam Abu Yusuf “Anda (penguasa) bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan harus melakukan apa saja yang menurut anda baik bagi mereka”. Senada dengan hal tersebut Imam al-Mawardi, pemikir terkemuka abad ke 5, menegaskan bahwa pelaksanaan imamah yaitu kepemimpinan politik merupakan kekuasaan mutlak dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia. Ini adalah kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat, mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam kontek tersebut Khalifah Umar telah menulis surat kepada Gubernurnya Abu Musa al-‘Asya’ari “Sebaik-baik manusia yang berkuasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah rakyatnya malah menemui kesulitan” (Azmi: 61). Hakikat kesejahteraan bagi suatu bangsa bukan hanya memiliki tujuan ekonomi, tapi juga menjadi tujuan syariat Islam. Dalam hal ini para fuqaha berpendapat bahwa terpenuhinya kebutuhan rakyat adalah kewajiban sosial (fardhu kifayah). Dengan demikian tujuan kepemimpinan adalah menjalankan persyaratan berupa terpenuhinya kewajiban yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kewajiban sosial umumnya berkaitan dengan kepentingan rakyat, maka mengabaikan itu berarti telah menzalimi mereka. Terpenuhinya kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat merupakan kewajiban moral dan keagamaan penguasa. Abu ‘Ubaid meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal dengan Umar II mengangkat guru-guru bagi orang-orang pedesaan dan menetapkan gaji mereka. Al-Mawardi berpendapat bahwa bantuan keuangan bagi perkawinan juga dianggap sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Lebih rinci imam Almawardi berpendapat bahwa bantuan keuangan untuk biaya pesta pernikahan gadis yatim piatu juga termasuk salah satu kewajiban penguasa.
Disinilah urgensi moral dalam kebijakan publik untuk memastikan keadilan sosial, terpenuhinya kebutuhan melalui pendistribusian pendapatan dan kekayaan. Kebijakan publik tidak dibimbing oleh nafsu penguasa semena-mena, namun kebijakan publik harus berada dalam koridor syariah yang bertujuan pada kesejahteraan umum, kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.  Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar