Oleh:
Muhammad Dayyan
Sangat menarik seminar nasional yang
dilaksanakan oleh Jurusan Syariah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang mengangkat
tema “Hukum, Moralitas dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam” pada 7
November 2013 lalu. Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA salah satu nasumber
menegaskan bahwa hukum syariat berperan penting dalam internalisasi moral para
pengambil kebijakan publik terutama di Aceh. Menurut beliau Syariat Islam sudah
menjadi tanggung jawab pemerintah untuk ditegakkan terutama dalam pelaksanaan
kebijakan publik. Lebih jauh Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA menjabarkan bahwa
nilai moral pemimpin menjadi inti dari penegakan syariat dengan menunaikan
seluruh kewajibannya selaku khalifah sehingga hak-hak asasi manusia bisa
terpenuhi.
Dari wacana hukum dan moral tersebut
tulisan ini akan mendiskusikan urgensi moral dalam kebijakan publik. Karena rendahnya
komitmen moral dalam suatu kebijakan publik telah berimplikasi pada melebarnya
kesenjangan sosial ditengah masyarakat. Kebijakan yang hanya berorientasi
keuntungan pada fee proyek
pembangunan bukan saja tak bermoral namun telah menjadi lumbung bagi penumpukan
harta dengan berbagai cara bagi segelintir elit. Sementara hak-hak publik untuk
mendapatkan pembangunan yang berkualitas dan bermanfaat secara jangka panjang
terabaikan dan ternoda.
Deficit moral para pemimpin telah
berimplikasi pada semakin sulitnya rakyat untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang
pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, ekonomi yang berkualitas. Padahal dalam konstitusi
Negara hasil amandemen UUD ’45 pasal 28C telah dengan terang disebutkan
tanggung jawab pempimpin untuk memenuhi Hak Asasi Manusia dalam bidang ekonomi
bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan ummat manusia. Selanjut dalam pasal 28H disebutkan
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Ayat (2) setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. Itulah
Hak Asasi Manusia merupakan jembatan menuju perilaku beradab yang diciptakan
dan diakui oleh masyarakat dunia dengan asas keadilan dan moral yang telah
diterima atau dimiliki bersama oleh setiap orang semata karena kita manusia.
Moral pada dasarnya semakna dengan sopan
santun, norma, nilai menyangkut bagaimana berprilaku sesuai dengan tuntutan
norma-norma, nilai-nilai yang diakui oleh individu atau kelompok ketika bergaul
dengan individu atau kelompok lainnya didalam masyarakat. Tujuan utama dari
berprilaku secara etika dan moral adalah mencapai kehidupan yang lebih baik.
Menurut Muthahari (2004; 20) perbuatan manusia yang dapat disebut sebagai
perbuatan bermoral (akhlaki) adalah perbuatan yang memiliki nilai yang lebih
tinggi dari nilai materil. Artinya perbuatan sesorang tidak hanya didorong oleh
motivasi untuk mendapatkan upah materil melainkan nilai yang tidak bisa diukur
dengan harga materi. Karena perbuatan yang bermoral mempunyai nilai yang lebih
tinggi dan manfaat yang lebih mulia. Menurutnya perbuatan akhlak dan moral yang
benar adalah dengan memasukkan dalam kategori penyembahan atau pengabdian
kepada Allah. Dengan kata lain saat sesorang menjadikan mandat Allah SWT dan
keridhaaan-Nya sebagai titik tolak segala aktifitas dan landasan program
hidupnya serta tujuan yang hendak dicapainya, niscaya seluruh kehidupannya,
sedari lahir hingga meninggalnya dan menjelma menjadi cahaya akhlaki atau
bermoral.
Maka dalam perumusan kebijakan publik pemerintah
memiliki kewenangan untuk mengatur sistem keuangan publik dalam rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun daerah APBD. Dan apa
saja pendapatan pemerintah adalah uang publik dipandang sebagai amanah ditangan
penguasa dan harus diarahkan, pertama-tama, ditujukan pada lapisan masyarakat
lemah dan orang-orang miskin sehingga tercipta keamanan masyarakat,
kesejahteraan umum dan pendistribusian pendapatan yang adil diantara berbagai
lapisan masyarakat. Pemimpin yang bermoral akan mendahulukan kepentingan
masyarakat bukan kepentingan memperkaya dan memuaskan diri dengan berbagai fasilitas
Negara yang kadangkala sudah melampau batas kewajaran sementara rakyat masih
banyak yang kesusahan.
Sebagaimana Alquran dengan tegas menyatakan
bahwa anggaran publik jangan hanya beredar dikalangan para pejabat atau orang
kaya “Apa saja harta rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan
supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu”
(QS: Alhasyr; 7). Alquran juga menegaskan bahwa dalam harta orang kaya ada hak
orang miskin “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,
bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang
tidak mau meminta)” (QS: Alma’arij; 24-25).
Maka
fokus kebijakan pemerintah secara moralitas adalah kesejahteraan umum
masyarakat sebagaimana ditegaskan oleh Faqih terkemuka Imam Abu Yusuf “Anda
(penguasa) bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan harus melakukan apa
saja yang menurut anda baik bagi mereka”. Senada dengan hal tersebut Imam
al-Mawardi, pemikir terkemuka abad ke 5, menegaskan bahwa pelaksanaan imamah
yaitu kepemimpinan politik merupakan kekuasaan mutlak dan pembentukannya
merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia. Ini
adalah kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikan kebaikan
bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat, mempertahankan stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Dalam
kontek tersebut Khalifah Umar telah menulis surat kepada Gubernurnya Abu Musa
al-‘Asya’ari “Sebaik-baik manusia yang berkuasa adalah mereka yang memerintah
demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang
memerintah rakyatnya malah menemui kesulitan” (Azmi: 61). Hakikat kesejahteraan
bagi suatu bangsa bukan hanya memiliki tujuan ekonomi, tapi juga menjadi tujuan
syariat Islam. Dalam hal ini para fuqaha berpendapat bahwa terpenuhinya
kebutuhan rakyat adalah kewajiban sosial (fardhu kifayah). Dengan demikian
tujuan kepemimpinan adalah menjalankan persyaratan berupa terpenuhinya
kewajiban yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kewajiban
sosial umumnya berkaitan dengan kepentingan rakyat, maka mengabaikan itu
berarti telah menzalimi mereka. Terpenuhinya kebutuhan dasar setiap anggota
masyarakat merupakan kewajiban moral dan keagamaan penguasa. Abu ‘Ubaid
meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal dengan Umar II mengangkat
guru-guru bagi orang-orang pedesaan dan menetapkan gaji mereka. Al-Mawardi
berpendapat bahwa bantuan keuangan bagi perkawinan juga dianggap sebagai
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Lebih rinci imam Almawardi
berpendapat bahwa bantuan keuangan untuk biaya pesta pernikahan gadis yatim
piatu juga termasuk salah satu kewajiban penguasa.
Disinilah
urgensi moral dalam kebijakan publik untuk memastikan keadilan sosial,
terpenuhinya kebutuhan melalui pendistribusian pendapatan dan kekayaan. Kebijakan
publik tidak dibimbing oleh nafsu penguasa semena-mena, namun kebijakan publik
harus berada dalam koridor syariah yang bertujuan pada kesejahteraan umum,
kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar