Senin, 13 Juni 2011

Masih adakah HMI?


Oleh: Muhammad Dayyan

”Gerakan HMI semakin memudar, hanya dihitung tapi tidak diperhitungkan” keluh seorang alumni. Ditengah proses rehab-rekon Aceh kader HMI tersedot dalam pusaran materialisme. Daya kritis dan idealisme sebagai energi dan identitas HMI tak mampu lagi menjadi obor perjuangan. Indikatornya HMI kurang respon terhadap berbagai masalah yang berkembang dalam kehidupan. di kampuspun HMI semakin kehilangan perannya. padahal lahan pengabdian HMI ada di kampus dan ditengah masyarakat. Hal ini menegaskan HMI hanya pandai berapologi, tidak bisa melakukan perbuatan nyata. Lemah dalam bidang informasi, publikasi, dokumentasi. Bahkan terkesan  anggota/pengurus HMI tidak memiliki sifat amanah, pamrih dalam berjuang, kurang dilandasi dengan semangat ikhlas. Lalu teman saya bertanya masih adakah HMI? saya berharap kenyataan ini tidaklah benar. 


Pertanyaan tersebut sangat menggugat eksistensi HMI yang pernah menjadi martir republik ini untuk mengganyang kolonialis dan komonis di era 50an dan 60an. Tahun 70an dan 80an menjadi penggerak pemikiran Islam Indonesia (baca: Sejarah HMI). Itu hanyalah sejarah masa lalu. Tapi kini kita harus merefleksi kembali eksistensi HMI. Kita masih ingat tahun 2003 al-marhum Prof. Nurchalis Madjid (mantan Ketua Umum PB HMI dua periode) menegur dengan kerasnya “bila HMI tidak bisa melakukan perubahan, lebih baik membubarkan diri”. Peringatan ini oleh Prof. Agussalim dimaksudkan sebagai shock therapy, dengan harapan HMI mampu melakukan perubahan terhadap dirinya  yang banyak kalangan memandang bahwa dalam tubuh HMI ditemukan berbagai kekurangan yang memberi citra negatif.

Penyataan yang bernuansa gugatan dapat kita maknai bahwa semua orang masih merindukan HMI mampu berkiprah kembali. Pernyataan gugatan tersebut tidak terlepas dari kenyataan yang harus diakui secara jujur bahwa HMI tidak lagi mampu membaca dan memahami sejarah perjuangannya. Padahal HMI memiliki kekuatan dan format serta arah perjuangan yang jelas yang menjadi panduan gerakan. Dalam salah satu buku yang ditulis Prof. Dr. Agussalim Sitompul (baca: indikator kemunduran HMI) sejak lahirnya HMI 5 Februari 1947, HMI memiliki citra baik positif maupun negative. Sisi positif antara lain HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang memiliki banyak anggota dan alumni. Turut memberi andil besar bagi pembentukan cendikiawan muslim dan berkontribusi terhadap pembinaan generasi muda Indonesia sehingga turut memberi andil bagi pembangunan bangsa dalam bentuk pemikiran. Secara kultural HMI dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan telah melakukan alih generasi dengan tertib serta banyak dipublikasi oleh media.

Sejatinya di usia yang sudah 61 tahun HMI sebagai ”Harapan Masyarakat Indonesia” bisa merefleksikan keberadaannya, sehingga menjadi petunjuk untuk mempertegas eksistensi, kebenaran, ketahanan, kekuatan dan ketetapan konsep perjuangan yang telah dipilih para generasi pendiri HMI. Eksistensi kebenaran dan ketetapan wawasan HMI teruji sekaligus membenarkan akan makna dan ketetapan dasar dan identitas HMI. Perjalanan kehidupan HMI sejak berdiri hingga sekarang, pada hakikatnya berlangsung secara dinamis, penuh perubahan dan kelangsungan, pergumulan dan perdamaian, ketegangan dan ketenangan, konflik dan konsensus. HMI dapat mengembangkan diri sebagai organisasi modern yang menempa kader-kader yang berwawasan ke-Islam-an, ke-Indonesia-an, ke-mahasiswa-an, independent, ke-pemuda-an, ke-ilmu-an, pemikir, pejuang dan pengabdi.

Kualitas insan cita HMI
Kanda Ampuh Devayan yang bagi saya merupakan ‘guru besar’ yang dimiliki HMI saat ini menyampaikan bahwa HMI memiliki tujuan untuk membentuk lima kualitas insan cita sebagaimana termuat dalam pasal 4 anggaran dasar HMI. Pertama, kualitas insan akademis yang berarti  kader harus berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, mampu berpikir rasional dan kritis, serta memiliki kemampuan teoritis yang memungkinkan kader memformulasi apa yang diketahui dan dirasakannya ditengah ummat. Kedua, kualitas insan pencipta yang dimaksudkan mampu memberi gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan. Ketiga, kualitas insan pengabdi yang memiliki kesadaran bahwa tugasnya bukan hanya mengabdi buat dirinya namun juga membuat kondisi sekekelilingnya menjadi baik. Keempat, kualitas insan yang bernafaskan Islam yang berarti kader memiliki unity of persolity (insan yang berintegritas dan independent) dan tercegah dari split personality (pribadi yang terpecah, apportunis, hedonis). Kelima, insan yang bertanggung jawab atas usaha terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.

Mengapa HMI sangat berkepentingan untuk mewujudkan kualitas insan cita? Karena bagi HMI lanjut Kanda Ampuh, mewujudkan masyarakat cita merupakan ultimate goal (tujuan akhir) dari misi HMI hanya bisa diwujudkan  dengan munculnya individu-individu “insan cita” dipentas peradaban global yang memiliki kualitas tertentu (ulil albab). Yang pada akhirnya  kumpulan individu-individu ini  akan membentuk masyarakat cita HMI itu sendiri.
Maka dalam konteks kekinian HMI sebagai bagian dari kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai ulil-albab harus dapat melakukan revitalisasi perjuangan dengan mengambil ibrah (pelajaran) dari sejarahnya maupun sejarah kemanusiaan secara universal sebagaimana pesan al-Quran surat Yusuf ayat 111 bahwa pentingnya membaca  lambang-lambang (ayat-ayat) dari setiap peristiwa sejarah. Dalam ayat lain Qur’an surat al-Harsy ayat 18 Allah juga mengingatkan ‘perhatikanlah sejarahmu untuk masa depanmu’. Mengapa sejarah menjadi standar untuk memperbaiki diri (HMI) karena sejarah mengandung pelajaran, peringatan, kebenaran yang akan mengukuhkan hati manusia (Qur’an surat Hud ayat 103).

Manusia sebagai ‘aktor sejarah’ harus selalu disadarkan bahwa dia hidup dalam masyarakat yang selalu berubah (Qur’an surat ar-Rahman ayat 26). Keyakinan diri terhadap kemampuan untuk maju sering surut, karena pemahaman terhadap esensi sejarah tugas kehidupannya mulai pudar dari kesadarannya. Karena itu perlu disadarkan kembali (revitalisasi) dengan sejarah (lihat Qur’an surat Hud ayat 20). Dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa sebagai suatu kesatuan sejarah yang universal yang terumuskan dalam 25 sejarah ke-Rasul-an akan memotivasi kita untuk tetap istiqamah pada khittah perjuangan.

Menoleh kemasa lalu dari 61 perjalanan HMI diharapkan memberi pemahaman untuk lebih  memahami masa yang akan datang ‘wal-tandhur nafsun ma-qaddamat li-ghad’ (perhatikanlah sejarahmu untuk masa depanmu). Disini memberi pesan bahwa tiga dimensi waktu yang selalu berkaitan. Menoleh kemasa lalu akan menemukan ‘informasi pengalaman yang telah teruji’. Membaca peristiwa kerasulan dalam al-Qur’an, berarti memperoleh contoh yang benar yang tidak dapat diragukan lagi (lihat Qur’an surat al-Baqarah ayat 2). Pun demikian tidak boleh terlalu lama menoleh kebelakang karena ibarat sopir mobil kalau terlalu lama menoleh kebelakang akan tertabrak tapi penting meperhatikan kebelakang melalui kaca spion untuk mengontrol keseimbangan.
 
Berkaitan dengan tugas manusia sebagai aktor sejarah untuk menciptakan perubahan (baca: NDP HMI bab II Kemanusiaan), juga ditegaskan Allah SWT dalam Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11 “sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Maka untuk tidak dikatakan atau dipertanyakan keberadaannya. Maka perlu merevitalisasi gerakan HMI dengan melakukan beberapa langkah strategis yang pokok dan mendasar. Pertama, menumbuhkan kesadaran individu dan kolektif bahwa HMI harus melakukan perubahan melalui tradisi intelektual (membaca, diskusi dan menulis). Menumbuhkan kembali ruh dan semangat ke-Islam-an pengurus dan anggota HMI yang meliputi tiga aspek esensi ajaran Islam yaitu Iman, Ilmu, Amal atau Iman, Islam, Ihsan (Akhlak) sehingga menjadi inspirasi, sumber motivasi, paradigma dan arah perjuangan HMI.

Kedua, melakukan pembaharuan dalam tubuh HMI sesuai dengan tuntutan dan kemajuan zaman yang terus terjadi perubahan, dengan merekrut kader yang berkualitas dan memiliki waktu mengurus dan bejuang, sehingga HMI dapat begerak lebih lincah dan cepat respek dengan segala persoalan ummat. Tata kerja yang lebih rasional dan mampu menggerakkan roda oragnisasi secara dinamis. Demikian juga terhadap perkaderan yang mesti dilakukan perombakan dan penguatan kapasitas instruktur sehingga mampu menjawab kebutuhan mahasiswa sesuai dengan semangat zaman kontemporer.

Ketiga, membangun citra organisi dengan memelihara, meningkatkan idealisme perjuangan pada setiap, diri anggota, kader, aktivis, dan pengurus HMI sehingga menjadi panutan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Kemudian membangun jaringan/ mitra untuk ikut bertangungjawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Esensi berdirinya HMI adalah sebagai kekuatan moral dan ini tidak boleh luntur atau hilang, artinya setiap bentuk aktualisasi kekuatan politiknya harus tetap dalam kerangka moralitas dan idealisme itu. Maka parameter perjuangan HMI tetap pada etika, moralitas dan nilai-nilai kebenaran. Aktualisasi politik yang lepas dari kerangka tersebut tidak bisa dibenarkan. Selamat ulang tahun HMI yang ke 61, jayalah HMI yakin usaha sampai. Insya Allah!

Disampaikan pada Refleksi  61 tahun HMI 5 Februari 1947- 5 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar