Senin, 13 Juni 2011

Syari'at Islam dan Posisi Perempuan


Oleh: Muhammad Dayyan
 
Frekuensi pembicaraan tentang perempuan ramai diperbincangkan setelah Syari’at Islam dideklarasikan pemberlakuannya secara formal di Aceh. Apakah Syari’at Islam sebagai ketentuan Allah yang telah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sejalan dengan semangat zaman dan kemajuan atau sebaliknya? Baru-baru ini penulis terlibat dalam suatu diskusi informal dengan salah seorang teman di Banda Aceh, ia mengungkapkan kegelesihannya atas sejumlah pertanyaan yang diajukan aktifis perempuan kepadanya bahwa Syari’at Islam sangat diskriminatif, tidak adil terhadap perempuan dan memenjarakannya dalam ranah domestic an-sich. Menghukumnya (cambuk) dengan tidak manusiawi dan sering dijadikan sebagai tumbal dalam melakukan razia? Misalnya kalau kedapatan pasangan meusum perempuan dipandang sebagai sosok yang hina (dengan asumsi bukan perempuan baik-baik) dan boleh diperlakukan kasar (dijamah, dijambak) dan sebagai pihak yang paling bersalah, demikian juga dalam razia menutup aurat perempuan sering jadi sasaran. Dalam hal hukum waris Syari’at Islam juga  mendiskriminasi perempuan dengan menetapkan 1:2 bagian dari pada laki-laki? Dan sejumlah penyataan lain yang bernada menggugat!


Pertanyaan tersebut dapat kita jelaskan dengan pendekatan sejarah yang menyajikan fakta bagaimana Islam memperlakukan perempuan. Jauh sebelum datangnya ajaran Islam, beberapa peradaban yang pernah ada di dunia berpandangan berbeda-beda tentang perempuan. Tapi mengacu pada satu titik, yaitu ’pelecehan dan penghinaan’ terhadap perempuan. Peradaban Yunani yang terkenal dengan para filosofnya memandang perempuan dengan begitu keji dan hina. Perempuan yang subur akan dirampas dari suaminya untuk laki-laki lain demi kepentingan angkatan bersenjata. Sedangkan perempuan yang melahirkan bayi yang cacat, mereka akan dihukum mati. Setali tiga uang dengan Yunani, peradaban India pun tak kalah kasar dalam memperlakukan perempuan. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus ikut dibakar hidup-hidup bersama jasad sang suami. Jika dia tidak mau melakukannya, maka dia akan dianggap sampah masyarakat yang lebih hina dari binatang. Peradaban cina menganggap “sepuluh bidadari cantik tidak sebanding dengan seorang laki-laki tua yang bongkok”.

Selanjutnya, peradaban masyarakat Arab Jahiliyah, kaum perempuan ditempatkan pada posisi yang sangat rendah. Mereka bisa diceraikan oleh suaminya kapanpun dia mau dan menjadi barang warisan untuk anak laki-laki mereka. Kejamnya lagi kelahiran bayi perempuan sungguh suatu yang tidak diharapkan dan diyakini sebagai pembawa aib dan sial dalam keluarga. Maka jika anak perempuan yang lahir harus dilenyapkan dengan cara dikubur hidup-hidup untuk menutup aib keluarga! Sungguh, suatu peradaban yang sangat sadis!

Peradaban dunia kontemporer hari ini dengan tatanan sistem kapitalisme yang dianggap maju, modern, menganggap perempuan tak lebih hanya sebagai objek yang bisa dieksploitasi untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Perempuan bak boneka yang layak dijual untuk mendatangkan keuntungan, dengan dalih seni, perempuan menjadi objek karya seni yang kemudian layak dipajang, dipertontonkan, dan ’dinikmati’ oleh siapa saja. Ironisnya,  tak sedikit perempuan yang terjerumus dalam perangkap kapitalis tanpa mereka sadari kalau sesungguhnya mereka sedang dieksploitasi. Demi materi dan popularitas rela memajang tubuhnya meski tanpa busana sekalipun, bahkan ada yang secara sadar memang senang untuk dieksploitasi.  

Syari’at Islam Memuliakan Perempuan
Sesungguhnya ajaran Islam telah mengangkat harkat-martabat perempuan sebagaimana sabda Rasul “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud). Kemudian kedudukan perempuan diatur oleh Allah Swt secara proporsional sesuai dengan fitrah penciptaannya. Perempuan dan laki-laki sama dihadapan Syari’at tanpa ada perbedaan. ”Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan ynag khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab: 35). 

Dari sisi kemanusiaan, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah adalah dari sisi ketakwaannya (yang kemudian mengantarkannya terikat dengan aturan Allah Swt.). Sedangkan dari segi sifat ke-perempuanannya, Islam memang membedakan laki-laki dan perempuan, sifat perempuan memang ditakdirkan untuk mengandung, melahirkan, menyusui, serta (bersama suami) mengasuh dan mendidik anak. Perbedaan ini haruslah diakui secara sadar, bahwa wanita dan laki-laki secara gender memang tidak sama. Oleh karena itu, aturan Islam yang mengatur hubungan pria dan wanita juga harus dipandang sebagai solusi terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan dalam konteks hak dan kewajiban yang sama maupun dalam hal perbedaan berdasarkan fitrah yang ada. Maka sesungguhnya dalam hukum waris jelas Islam telah mengangkat perempuan dari objek warisan menjadi posisi yang mendapatkan warisan (lihat QS An-Nisa’: 7-13 dan 32-33).

Dalam ranah domestik perempuan sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga), disini Islam memberikan penghargaan yang tinggi atas karya seorang perempuan dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya menjadi manusia unggul untuk menjadi pelaku sejarah membangun peradaban unggul. Sebagaimana Rosulullah Saw., bersabda: ”Pada masa kehamilan hingga persalinan, dan hingga berakhirnya masa menyusui, seorang perempuan mendapatkan pahala yang setara dengan dengan pahalanya orang yang menjaga perbatasan Islam.” (H.R. Thabrani). Selanjutnya, perempuan dalam keta’atan menjalankan funsinya sebagai istri bagi suaminya sekaligus ibu bagi anak-anaknya, tentu bukanlah sebuah diskriminasi atau penindasan tapi merupakan suatu kehormatan yang dengan itu ia akan memperoleh ridha dan pahala dari Allah Swt sebagai Penciptanya.

Penting  untuk dipahami di sini bahwa ketaatan istri kepada suaminya bukan pula ’sembarang’ taat. Artinya, apa yang ditaati tersebut haruslah sesuai dengan Syari’at, dengan kata lain tidak boleh ta’at jika suami memerintahkan berbuat maksiat. Sehingga dalam kondisi ini, perempuan harus sadar dan cerdas, kapan dia harus ta’at dan kapan tidak mesti ta’at atas perintah suami bahkan harus berani mendiskusikan hal itu kepada suaminya. 

Perempuan Dalam Ranah Publik
Selanjutnya perempuan disamping sebagai anggota keluarga (sebagai anak maupun istri dan seorang ibu), perempuan juga bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Keberadaan ini tak bisa dipungkiri ketika perempuan juga harus menjalankan peran publiknya ditengah-tengah masyarakat seperti adanya kewajiban mengemban dakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, mengoreksi kebijakan penguasa, menuntut ilmu, dan sebagainya. Dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban ini, tak ada yang membedakan antara kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, dimana mereka sama-sama harus tunduk pada perintah Allah Swt.    Kepada perempuan juga dibolehkan bekerja (apakah sebagai pengajar, dokter, dll.) untuk mengembangkan potensi diri dan mengamalkan ilmu serta keahlian yang dimilikinya namun tentu saja dengan seizin suaminya dan tidak pula melupakan peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait. Karena pada dasarnya, perempuan tidak diwajibkan oleh Allah Swt untuk mencari nafkah, melainkan diwajibkan kepada kaum laki-laki (wali/suami). 

Adanya ketentuan yang berbeda ini tentu tidak bisa diartikan sebagai upaya pendiskreditan kaum perempuan. Ini semata-mata untuk menjaga dan menjamin keberlangsungan serta keberhasilan pelaksanaan peran laki-laki dan perempuan secara seimbang dan harmonis tanpa ada yang timpang tindih satu sama lain. Dapat dibayangkan kalau laki-laki ada tugas jaga malam karena pertimbangan gender perempuan juga diwajibkan jaga malam, sangat tidak pantas bukan? 

Kuncinya, Allah sebagai Pencipta laki-laki dan perempuan telah begitu adil menempatkan peran masing-masing pihak secara proporsional sesuai dengan fitrah penciptaannya. Maka sangat mustahil Syari'at Islam merendahkan perempuan. Akhirnya, semua pihak harus berupaya untuk memahami posisi perempuan dan peranannya dalam lingkup keluarga (domestik) dan masyarakat (publik). Hal ini menjadi sangat penting mengingat harus ada satu kesepahaman dalam memandang peran masing-masing pihak baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Adanya perspektif yang sama menjadi langkah awal yang akan memberikan jaminan bagi kemajuan peran dan posisi perempuan dalam ranah domestik maupun publik, sekaligus akan menjamin kemajuan peradaban masyarakat secara keseluruhan. Nah jelas Syari’at Islam telah mengangkat harkat-martabat perempuan yang begitu mulia. Maka masihkah kita ragu dan  menganggap ketentuan itu tidak adil, atau memang kebodohan kita yang tidak bisa menerima kebenaran sehingga keadilan Tuhan kita katakan diskriminatif, memenjara perempuan dan lain-lain?Wallahua’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar