Senin, 13 Juni 2011

Memecah Mitos Globalisasi


Oleh: Muhammad Dayyan

"Kita harus menggugah kembali ummat Islam untuk meningkatkatkan kualitas kemanusiaannya dengan menguasai Ilmu pengetahuan, memperkuat kemandirian ekonomi dan politik sehingga mampu mengambil peran sebagai umat dengan kualitas terbaik dipentas global sebagaimana yang dipesankan dalam Alquran".
Tulisan Sulaiman Tripa ”Globalisasi dan Bayang Masa Depan” (Serambi 17/06/2007) yang memetakan tiga tipelogi orang dalam memandang globalisasi berdasarkan tulisan saya yang berjudul ”Memaknai Globalisasi” (Serambi 15/05/2007). Penjelasan Sulaiman Tripa membuat pikiran Edi Miswar berkecamuk sehingga menulis ”Sengkarut Globalisasi, Capek Deh!”(Serambi 24/06/2007). Memang mendiskusikan Globalisasi melelahkan ketika kita melihatnya sebagai sebuah sistim yang menglobal bak mitos yang tak terpecahkan. Namun mengasyikkan bila kita melihat globalisasi sebagai sebuah panggung seperti yang ditulis oleh Hamdani M. Syam ”Globalisasi atau Imperialisme Budaya” seperti sebuah balon yang bisa digenggam dengan sebelah tangan begitu kecil dan dekat (Serambi 06/05/2007).

Saya ingin mendiskusikan lebih lanjut dengan melihat globalisasi secara sederhana. Globalisasi asal kata global adalah planet bumi sebagai sebuah panggung kehidupan yang dilakoni oleh aktor utama bernama manusia dengan kualitas khalifah (QS; Albaqarah ayat 30). Kualitas khalifah adalah kemampuan menguasai ilmu pengetahuan yang membuat malaikatpun harus tunduk bersujud kepada manusia (QS;  Albaqarah ayat 31-34). Sebagaimana kita ketahui hari ini aktor utama dipentas global adalah manusia barat dengan ideologi sekuler. Sepintas mereka telah memenuhi syarat untuk menjadi khalifah yaitu menguasai ilmu pengetahuan yang mengahasilkan teknologi. Dengan itu pula mereka punya kemampuan mengendalikan sistim ekonomi, politik bahkan budaya disemua lini kehidupan diatas pentas global yang sering memarjinalkan kita umat Islam dipersimpangan peradaban.

Sama seperti orang menyaksikan sebuah pertunjukan drama atau film, cendrung mengagumi aktor utama yang tampil sebagai anak mudanya yang kadang kala ada kebanggaan untuk meniru gaya, tutur kata, bahkan seluruh prilakunya. Untuk mengikuti prilaku aktor orang rela mengorbankan harga diri, identitasnya untuk membeli dengan harga mahal ’gengsi modern’ misalnya dengan makan di KFC, CFC, Mcdonald, Bread Luve, dll padahal citarasanya sama dengan ayam goreng, roti yang gerobak apa Ma'un yang berasal dari tepung dan kentang. Demikian juga dalam berpakaian orang akan merasa modern kalau pakai Favo, Amco, Lea, Nike, dan dan lain-lain. 

Dari segi ekonomi seluruh negara harus tunduk pada sistim bunga yang dikendalikan bank central Amerika (the Fate). Kalau suku bunga bank sentral Amerika naik atau turun seluruh dunia akan ikut bagai rakyat mesir tunduk patuh pada Fir’un di abad sebelum masehi. Disinilah kita melihat fenomena orang hampir diseluruh dunia ini secara sadar maupun tidak terseret dalam skenario aktor global. Nah pertanyaannya dimana posisi ummat Islam? Yang disebut Tuhan sebagai aktor terbaik dipentas global untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran yang mengajak orang berkomitmen pada Tuhan yang satu bukan pada mode, sistim, figur, dan nafsu yang menghambakan diri pada materi (QS; Ali Imran ayat 110). Dalam ayat yang lain Tuhan telah memberi janji bahwa umat Muhammad ini akan menjadi khalifah yang berkuasa di muka bumi sebagaimana kejayaan umat terdahulu (QS An-Nur: 55). Janji Tuhan sangatlah tepat dan pasti, lebih-lebih diungkapkan dengan kalimat ta'qid (penguat). Namun karena tak memenuhi syarat, maka umat Islam masih belum jaya (mustadh’afin). Tak memenuhi syarat untuk menjadi khalifah sebagai aktor global di muka bumi ini yaitu menguasai ilmu pengetahuan sebagaimana isyarat dalam dalam Alquran surat Ar-Rahman ayat 33.

Lalu apa yang bisa dilakukan dengan posisi yang lemah atau termarginal saat ini? Ummat Islam dipentas Global menjadi bahan mobilisasi aktor utama seperti dalam konflik Timur Tengah, sehingga secara politik belum menjadi uswah hasanah. Pemimpin Islam tak berdaya melawan Israel, hingga sejak tahun 1948 belum berhasil membebaskan Palestina. Padahal negeri Zionis itu wilayahnya sempit, penduduknya hanya enam juta, dan posisinya dikepung negara-negara Arab yang nota bene Muslim yang kuat secara ekonomi dan militer. Negeri-negeri Islam itu besar tapi tak bersatu. Apa daya, jumlah besar bagaikan buih. Besar dengan gelembung putih tak berisi.

Dinegeri kita ummat Islam juga menjadi komuditi dan mobilisasi politik dalam berbagai perhelatan. Ketika pemilu dan pilkada hingga pilkades ummat disapa dan kadang dimanjakan, tetapi sehabis pesta umat ditinggalkan dan tak dihiraukan. Para elite dan partai politik pun begitu gairah kalau sedang ada maunya. Mujahadah akbar, silaturrahmi, tabligh akbar, dan perhelatan berbau ritual agama pun digelar dengan penuh semangat. Tetapi usai hajat digelar, umat pun gigit jari.

Para pakar dan politisi mengatakan politik Islam sangatlah penting dan strategis untuk amar makruf nahi munkar melalui kekuasaan. Memang tepat, jika dijalankan. Negara dan institusi-institusi politik yang berada di dalamnya merupakan tangan yang efektif dan strategis untuk mengurus rakyat, termasuk umat Islam. Apa yang tak mampu dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan. Namun sampai hari ini negara, partai politik, dan para elite strategis di dalamnya belum mampu menjalankan amanat rakyatnya, amanat umatnya sendiri, belum lagi kita bicara sebagai aktor global.

Keadaan tersebut dapat kita lihat ketika umat dirundung musibah dan dililit kesusahan hidup, pemimpin puncak sibuk dengan urusannya sendiri dan sibuk dengan rencana politik lima tahunan. Partai dan elite politik di parlemen pun lebih banyak mengurus dirinya, termasuk urusan kenaikan gaji dan tunjangan. Tak sungguh-sungguh peduli dengan urusan umat yang besar-besar seperti memecahkan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesejahteraan rakyat/umat melalui kebijakan-kebijakan politik pro-rakyat.

Disinilah penting untuk didiskusikan lebih lanjut kepemimpinan umat yang sudah kehilangan fungsinya yang efektif dan strategis sebagai aktor dipentas global untuk mengajak pada perbaikan, mencegah kemungkaran, kerusakan dan berkomitmen pada Tuhan yang satu (Allah). dalam hal ini menarik mencermati pernyataan Menteri Agama yang mengkritik para ulama yang sibuk dengan urusan politik, abai dalam mendidik dan mencerahkan umat (Republika 19/06/2007). Nalar umat dipadati dengan urusan sesat-menyesatkan paham, yang membuat pikiran umat menjadi bernapas pendek dan hilangnya ruh kearifan dan kecerdasan. Sementara elemen umat yang galak, akhirnya menumpahkan energi keagamaannya untuk selalu marah dan melakukan tindakan kekerasan tanpa pertimbangan panjang, yang pada akhirnya meruntuhkan nama baik dan kehormatan Islam.

Padahal seorang mufassir Al-Mawardi mengingatkan kepemimpinan umat itu harus hadir sebagai aktor dengan pantulan kerisalahan Nabi, yakni menegakkan nilai-nilai agama dan mengurus urusan dunia dengan sebaik-baiknya. Nilai-nilai Qur’any yang berbasis kerisalahan Nabi, tiada lain menjadi rahmat dipentas global sebagaimana deklarasi Tuhan untuk risalah Muhammad: wa ma ar-salna-ka illa rahmatan lil-'alamin (QS Al-Anbiya: 107).

Memang, mewujudkan kualitas ummat Islam sebagai aktor utama dipentas global saat ini tak semudah seperti yang kita diskusikan, paling tidak kita harus menggugah kembali ummat Islam untuk meningkatkatkan kualitas kemanusiaannya dengan menguasai Ilmu pengetahuan, memperkuat kemandirian ekonomi dan politik sehingga mampu mengambil peran sebagai umat dengan kualitas terbaik dipentas global sebagaimana yang dipesankan dalam Alquran. Sehingga dapat membebaskan ummat dari sistim yang sarat kemungkaran dipentas global yang begitu kuat menggurita mencengkram masyarakat dan bangsa dengan mayoritas muslim. Tentu dengan kualitas ilmu pengetahuan. Mengkaji kebali Alquran dan Alhadist sebagai sumber inspirasi. 

Maka kultur politik dan kepemimpinan umat harus terus didorong sehingga mampu menyelesaikan urusan-urusan dunia yang kompleks dan nyata sebagaimana yang dipesan Alquran dan Alhadist. Jangan sebaliknya giat memproduksi simbol agama dengan pesona kulit luar untuk kepentingan yang sempit. Meriah, tapi kehilangan substansi dan fungsi untuk membebaskan dan mencerahkan kehidupan umat. Apalagi untuk merambah persoalan-persoalan universal yang serba melampaui dunia umat dipentas global. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar