Selasa, 31 Mei 2011

Mengawal Investasi Aceh

Oleh: Muhammad Dayyan
  
"Yang utoh tayue cemulek, yang lisek tayue kenira, yang cabak tayue ek kaye, yang dunge tayue jaga kuta, yang beu’oe tayue keumeumiet, yang meugriet tayue meumita, yang malem tayue beut kitab, yang bangsat tayue rabe guda, yang bagah tayue seumejak, yang bijak tayue peugah haba"

Agresifnya pemerintah melobi investor untuk membangun kembali masa depan Aceh, khususnya dalam bidang ekonomi, maka hadih majah Aceh tersebut agaknya bisa dijadikan frame pengawalan agar seluruh ikhtiar tetap dalam koridornya. Sebagai cermin dari peran setiap orang, dan bagaimana menempatkannya secara profesional dan proporsional.

Bahwa pembangunan sebagai ikhtiar mentransformasikan kondisi sosial masyarakat (Aceh) kepada yang lebih modern dan bermoral. Maka di sini harus melibatkan semua unsur selaku user (pemakai) hasil pembangunan. Alquran menegaskannya dalam surat ar-Ra’
d (ayat 11), “Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa yang ada pada dirinya”. Partisipatif merupakan prasyarat untuk merancang (rekayasa sosial) mencapai tujuan itu.


Dalam kontek upaya pemerintahan Aceh Irwandi-Nazar diuji komitmennya untuk memperbaiki keadaan Aceh yang transisi, dan masyarakat harus mengawalnya. Sebab tarik-menarik kekuatan sosial, ekonomi, dan politik, tetap terjadi jika masyarakat tidak dilibatkan ataumelibatkan diri di dalamnya. Selain itu bisa berimplikasi pada terkurasnya energi sosial karena masing-masing memposisikan diri secara diametral terhadap kepentingan bersama guna mendapatkan sumber ekonomi secara pribadi. Maka lahir tindakan-tindakan tak sinergis antar kelompok dalam masyarakat.

Kita setuju atas langkah berani pemerintah Aceh melobi pihak internasiaonal agar berinvestasi di Aceh. Ini suatu yang strategis, karena selain membuka lapangan kerja juga akan mengubah suatu yang selama ini konvensional menjadi berdayaguna dan berhasil guna. Sebab hanya melalui kerjasama sosial, manusia mampu mengubah suatu barang menjadi bernilai yang berlipat ganda, kata Ibnu Khaldum dalam kitabnya
“Muqaddimah”.

Menurut Khaldum, suatu barang akan menjadi lebih berharga dengan diperdagangkan lintas negara karena kepuasan masyarakat, laba pedagang, dan kesejahteraan negara semuanya akan meningkat. Maka ia menekankan peranan pembagian kerja internasional yang lebih didasarkan pada keterampilan penduduk dari masing-masing negara.

Bila merujuk pada Khaldum, maka secara normatif dan prinsip ekonomi upaya pemerintah Aceh mengundang sebanyak-banyaknya investor Asing untuk membangun ekonomi Aceh dapat dikatakan di jalur benar. Namun Khaldum mengingatkan, bahwa pembagian kerja internasional tidak semata-mata didasarkan pada sumber-sumber kekayaan alamnya.
Sering kali proses perkembangan bertumpu pada infrastruktur intelektual suatu negara dalam menjalankan peran sosial-ekonomi. Maka jangan sampai terjadi seperti pepatah Aceh, ”Buya krueng teudong-dong, Buya tameung meuraseuki”. Karenanya bagaimana pemerintah membalik pepatah itu hingga menjadi ” buya tameung ba raseuki, buya krueng meuraseuki”.

Dipertanyakan
Idealnya, semakin berkembang suatu bangsa, semakin banyak modal dan organisasi infrastruktur intelektual dibutuhkan. Karena orang-orang yang terampil ditarik oleh infrastruktur ini atau datang untuk hidup di dalamnya. Inilah yang perlu dipertanyakan ketika agresifitas pemerintah Aceh mengundang investor asing. Apakah infrastruktur intelektual Aceh sudah siap untuk menopang interaksi perdagangan Internasional dalam menerima investor asing? Jangan sampai negeri kita yang kaya sumber daya alam, namun karena SDM-nya kurang terampil atau bodoh maka mereka dijadikan komoditi untuk mengkayakan asing juga segelintir orang pintar dalam negeri. Inilah yang diingatkan Ibnu khaldum, bahwa uang bukan bentuk sebenarnya dari kesejahteraan melainkan hanya alat meraih kesejahteraan. Fungsi uang yaitu sebagai ukuran pertukaran dan sebagai penyimpan nilai (Karim, 2006).

oleh sebab itu penting bagi pemerintah dan rakyat Aceh mempersiapkan infrastruktur intelektual dengan kesiapan tenaga kerja yang terampil. Sehingga tidak sepenuhnya diserahkan kepada investor asing. Mungkin Aceh perlu belajar pada Korea dan Taiwan. Mereka mendatangkan investor dan membangun perusahaan-perusahaan lokal berkelas internasional, sehingga fondasi ekonominya menjadi tangguh. Dan Aceh sebenarnya punya banyak potensi intelektual juga pengusaha di sejumlah daerah, bahkan di luar negeri. Namun selama ini pemerintah cenderung bekerja sendiri, bahkan tidak memberi ruang bagi putra Aceh berekpresi di negerinya. Di sinilah komitmen ke-Acehan yang kita ingin lihat pada pemerintah Aceh, mampukah mereka mengoptimalkan potensi anak bangsanya.

Kecuali mengoptimalkan potensi Aceh, pemerintah harus berkomitmen bahwa kesejahtraan hanya bisa dirasakan jika mengedepankan keadilan di tengah masyarakat juga antara manusia dengan alam. Artinya investasi tidak hanya mengekploitasi sumberdaya alam yang mengakibatkan kerusakan sosial dan lingkungan. Kegiatan investasi harus dalam mengedepankan keadilan sejati dalam koridor syariat Islam. Konsistensi pada nilai syariat ini merupakan fundamen. Allah Swt berfirman,
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri ini beriman danbertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96).

Analisis sosiologis Ibnu Khaldum hendaknya dapat menjadi renungan bagi kita bah suatu bangsa akan jaya jika mampu mengubah dan memiliki tiga karakter. Pertama, kecendrungan saling membenci dan menjatuhkan berubah menjadi semangat saling melindungi sebagai sesama anak bangsa. Kedua, bila bangsa itu mampu menyiapkan masyarakat untuk memiliki SDM yang kuat dalam kualitas dan kuantitas. Ketiga, bangsa itu punya sikap optimis dan selalu bekerja keras. Sebaliknya kehancuran suatu bangsa akan terjadi kalau penduduknya sibuk menikmati kejayaannya secara berlebihan yang sesungguhnya berawal dari bobroknya akhlak. Ini teraktualisasi pada perilaku korup, rakus, memangsa sesama. Atau pribadi yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai suatu ambisinya, menikmati kesenangan dan mengkhianati rakyatnya.

Dalam konteks ini, sebagai masyarakat Aceh yang mulia dan menjalankan syariat agama Islam, maka koridor pembangunan Aceh harus bernafaskan sistem dan nilai syariat itu. Sistem yang tidak mengenal penghalalan segala macam cara, tidak berorientasi keuntungan semata-mata, tapi mampu mensejahtrakan umat secara benar, halal dan barakah. Sistem syariat Islam untuk mengawal pembangunan ekonomi Aceh, sepatutnya yang dipersiapkan oleh para para wakil rakyat yang duduk di DPRA. Apalagi ruang itu terbuka luas dengan dilaksanakannya UUPA 2006.

Pengalaman telah menunjukkan, kemajuan ekonomi tidak selalu disertai tatanan yang lebih beradab. Maka qanun sebagai bentuk rekayasa sosial harus mampu melahirkan paradigma pembangunan baru, yakni menyiapkan perubahan sosial yang membawa kemakmuran ekonomi tanpa harus menggadaikan harga diri dan marwah Aceh yang Islami.

Rakyat merindukan kesejahteraan materil, sosial dan spiritual. Maka mengubah paradigma berpikir dari keuntungan sesaat, menuju kesungguhan bekerja dan berikhtiar, jujur dan amanah lewat para pejabat, tokoh masyarakat, ulama, pendidik, politisi, dan bahkan para tetua bangsa, akan mampu mengawal investasi di Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar