Minggu, 12 Juni 2011

Pemilu Dibajak?

Oleh: Muhammad Dayyan


Perbenturan kepentingan mulai terlihat dalam persiapan pemilu 2009. Berbagai persoalan yang mencuat dalam perekrutan, penyeleksian, dan penetapan anggota KIP Kabupaten/Kota menuai protes dan gugatan dari publik di hampir semua kabupaten/kota dalam Propinsi Aceh. Apakah ini indikasi pemilu 2009 telah di bajak di Aceh? Simak saja di media saban hari menyajikan proses perekrutan calon anggota KIP Kabupaten/Kota oleh DPR Kabupaten/Kota penuh dengan intrik.



Di Kabupaten Aceh Timur masyarakat menduga elit politik susupi penjaringan KIP (Serambi 23/4 2008) yang berlanjut sampai dengan penetapan 5 anggota KIP menuai gugatan(Serambi 21/6 2008). Di Kota Subulussalam masyarakat menyorot banyak calon anggota KIP yang bukan penduduk setempat (Serambi 23/4 2008 hal.21), demikian juga di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah masyarakat menilai banyak calon anggota KIP berdomisili diluar daerah dan sebagian pernah jadi caleg pemilu 2004 (Serambi 2/5 2008). Dikabupaten Aceh Tenggara masyarakat menilai penjaringan calon anggota KIP oleh Komisi A DPRK Aceh Tenggara tidak transparan (Serambi 7/6 2008 hal.22) sehingga meloloskan seorang anggota KIP lama yang dinilai gagal dan memihak pada pilkada kepala daerah tahun 2006 lalu.

Di Aceh Selatan penjaringan anggota KIP dinilai sarat kepentingan pribadi dan golongan (Serambi 21/6 2008) demikian juga di Kota Langsa sempat mencuat pembicaraan di kalangan masyarakat penetapan anggota KIP ada permainan uang yang dilakukan secara terselubung dengan cara paket, modusnya calon anggota yang akan diluluskan mengumpulkan uang dan menyerahkan kepada anggota dewan (Serambi 22/6 2008) sehingga dalam penetapan 5 orang anggota KIP Langsa diundurkan dari waktu yang telah dijadwalkan beberapa hari dan akhirnya meloloskan seorang PNS yang masih belum ada izin dari tempat bertugas dengan status masih dalam tugas belajar (Serambi 23/6 2008) juga mengabaikan keterwakilan perempuan (Serambi 25/6 2008).

Pihak DPRK Aceh Tamiang juga di tuding bahwa penetapan anggota KIP tidak objektif dan tidak transparan dalam memberi nilai (Serambi 25/6 2008) tidak ketinggalan DPRK Aceh Singkil digugat karena proses perekrutan anggota KIP dinilai menyimpang dari ketentuan Undang Undang Pemilu dan Qanun Aceh tentang penyelenggara pemilu (Serambi 25/6 2008 hal.29).

Di Kabupaten Pidie DPRK dinilai diskriminatif terhadap perempuan karena talah mengabaikan potensi perempuan (Serambi 25/6 2008). Terakhir yang paling anyar Komisi A DPRK Aceh Utara dipolisikan karena dianggap telah melakukan tindak pidana penipuan dalam hal perangkingan anggota KIP setempat setelah diumumkan dan pansus itu sendiri dinilai cacat hukum terbukti dari sekretaris Pansus merupakan terpidana yang telah di vonis 1,5 tahun dan sedang menjalani masa percobaan hukuman (Serambi 27/6 2008 hal.1).
Melihat fenomena tersebut jelas tersirat betapa perbenturan kepentingan politik pada pemilu 2009 sangat tajam. Disatu sisi dengan munculnya berbagai persoalan tersebut kepermukaan menunjukkan masyarakat semakin kritis dalam melihat prilaku elit yang sering mengabaikan objektifitas dan kepentingan public yang lebih luas. Otoritas DPR Kabupaten/Kota dalam penetapan anggota KIP dari lima belas besar calon yang diajukan oleh tim penjaringan dan penyaringan bakal calon banyak permainan.

Memang dewan melakukan uji kelayakan dan kepatutan yang di kenal dengan fit an proper test. Dalam uji kelayakan dan kepatutan tersebut setiap calon menyampaikan visi-misi bila terpilih menjadi anggota KIP dalam sidang paripurna DPR kabupaten/kota yang terbuka untuk umum sehingga ikut disaksikan oleh sejumlah tokoh masyarakat (kepolisian, pengadilan, mahkamah syari’ah, MPU, MAA, MPD, LSM, Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya). Selanjutnya dewan melakukan interview (semacam wawancara) dengan materi mencakup kemampuan memecahkan masalah, pengetahuan tentang pemilu, kepemimpinan, integritas dan penguasaan tentang syari’at Islam, serta kemampuan baca Qur’an. Pada tahapan kedua inilah mulai terlihat kejanggalan karena dilakukan secara tertutup. Kemudian sistim penilaian yang tidak terukur. Disinilah dewan terhormat mulai memainkan perannya yang sarat kepentingannya. Karena ada keanehan jika seorang calon yang dalam penyampaian visi-misi kurang menguasai masalah nilainya lebih tinggi dari calon yang lebih mampu menurut penilaian publik yang ikut menyaksikan penyampaian visi-misi, tapi nilainya anjlok sehingga tidak ikut di luluskan oleh dewan.

Jadi proses uji kepatutan dan kelayakan lebih terlihat hanyalah formalitas ritual politik kamuflase, karena penilaiannya sangat subjektif dan tertutup. Bila dari awal pemilu telah dicedrai oleh kepentingan elit DPRK Kabupaten/Kota saat ini, maka masyarakat pantas meragukan tingkat integritas, komitemen anggota KIP disejumlah Kabupaten/Kota. Hal ini jelas akan berimplikasi pada kualitas pemilu bila hasil penetapan anggota KIP kabupaten/kota yang diragukan independensinya selaku penyelenggara pemilu.

Inilah salah satu kerikil awal pemilu 2009 di Aceh yang perlu disikapi secara serius dan diselesaikan secepatnya. Sebagaimana kita ketahui Qanun Nomor 7 tahun 2007 yang mengatur tentang Penyelenggaraan pemilu sebagai produk DPR Aceh terdapat sejumlah kelemahan karena membuka ruang kecurangan maupun kolosi terhadap perekrutan anggota tim penjaringan anggota KIP oleh DPR Kabupaten/Kota maupun seleksi calon anggota KIP Kabupaten/Kota. Sebagaimana pernah diingatkan oleh pakar hukum Universitas Syiah Kuala Saifuddin Bantasyam SH,MH (Serambi 3/5 2008 hal.4). Salah satu kelemahan penyelenggara pemilu di Aceh yang termaktub dalam Qanun No.7 tahun 2007 bahwa hirarkhi KIP Propinsi Aceh menganut hirarkhi tidak murni, berbeda dengan propinsi lain yang menganut sistim hirakhi murni. Para anggota KIP Kabupaten/Kota ditentukan oleh DPR Kabupaten/Kota, maka tidak tunduk sepenuhnya kepada KIP Propinsi yang berdampak pada sulit melakukan pengawasan langsung untuk mengawasi kinerja KIP Kabupaten/Kota. Apalagi dari proses perekrutan telah terjadinya kolusi dan deal-deal (janji-janji) politik dengan anggota DPR Kabupaten/Kota saat ini. Sungguh ironis memang! Adagium yang sering digunakan di dunia politik adalah "tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada kepentingan abadi".

Kalau dari awal sudah bermasalah maka pelanggaran Pemilu akan semakin mungkin terjadi sebagamana yang diulas oleh Nyak Arief Fadhilah Syah dalam kolom opini "Pemilu dan Peran Panwaslu" (Serambi 21/6 2008). Hal-hal seperti manipulasi data (identitas pendukung fiktif, kepengurusan fiktif, ijazah aspal (asli tapi palsu), kecurangan dalam perhitungan suara dan lain sebagainya sulit untuk dihindarkan. Disini sebenarnya kita berharap pada peran pengawas pemilu (panwaslu) untuk berperan maksimal. Namun kalau panwaslu juga dipilih oleh DPR kabupaten/kota setali tiga uang juga dan terjadi konspirasi untuk membajak pemilu.
Kita khawatir akan muncul lebih banyak persoalan dalam pemilu 2009 nanti dan sulit dielakkan bila dari proses awal dalam perekrutan para penyelenggara pemilu (KIP) dan pengawas pemilu (panwaslu) di sejumlah kabupaten/kota di Aceh tidak memiliki kualitas yang mampu bekerja secara profesional, akuntabel dan transparan.

Untuk yang terakhir ini maka peran serta masyarakatlah agar lebih proaktif ikut mengawasi dan mengkritisi jalannya pemilu. Mengingat pemilu diambang pintu--meskipun proses awal ini dianggap bermasalah---kita perlu memberi kesempatan kepada para penyelenggara pemilu di tingkat propinsi, Kabupaten/Kota yang sudah ditetapkan untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan aturan yang ada guna memperkuat kualitas pemilu di masa depan. Ada lima misi pokok KPU/KIP yang harus dilaksanakan untuk dapat terselenggaranya pemilu yang demokratis; Pertama, Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan pemilihan umum; Kedua, Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab; Ketiga, Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih, efisien dan efektif. Keempat, Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Kelima, Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar