Senin, 13 Juni 2011

Pendidikan "Membunuh" Ala UN


Oleh: Muhammad Dayyan
  
"Kalau pemerintah masih mempertahankan sistim yang hanya menghargai prestasi dengan angka statistik sungguh negeri ini akan mewariskan prilaku yang tidak bisa mensyukuri nikmat Tuhan berupa potensi kemanusiaan".

“Kejam”nya Ujian Nasional tulis Ampuh Devayan (Serambi 18 Juni 2007) telah menguncang bathin kita yang berempati pada nasib pendidikan. Kemudian Farah Dineva Rustam dalam tulisannya “UN, Menguji atau Mengadili? (Serambi Indonesia Selasa 19 Juni 2007) menggambarkan suasana bathinnya dan teman-temannya saat menghadapi UN dan saat melihat hasilnya. Dari kedua tulisan tersebut memotret kegelisahan betapa bangsa ini telah menciptakan dan masih mempertahankan sistim yang secara pelan dan pasti membunuh carakter bangsa dengan sangat purba. Bagaimana tidak, karakter suatu bangsa dibangun melalui sebuah proses pendidikan yang dijalankan dengan rangkaian sistim secara terkoordinir oleh mendiknas, diknas sampai ke lembaga yang menjalankan proses pendidikan (sekolah/madrasah). 
 
Meskipun era reformasi ini sudah banyak melahirkan UU salah satunya UU No.20/2003 tentang sistim pendidikan nasional (SISDIKNAS) yang merumuskan tujuan pendidikan nasional ”melahirkan manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan berakhlakul karimah”. Namun kalau kita melihat realitas pelaksanaannya belum mengarah pada pencapain tujuan tersebut. Sehingga patut kita merasa khawatir dengan masa depan bangsa ini jika tolok ukur prestasi pendidikan di nilai dengan sistim UN yang sudah banyak mengambil tumbal. 

Pemerintah dengan retorikanya bertekad membangun kembali karakter bangsa ini yang diakui telah jauh dari nilai-nilai luhur. Keramahan, kegotong-royongan, kerja keras, menghargai prestasi, namun hari ini masyarakat pucat pasi ketika berhadapan dengan wajah pendidikan yang garang. Dimulai dengan beban biaya SPP, seragam, buku, dan sejumlah iuran lain. Namun ketika jerih payah itu juga dinodai oleh vonis akhir UN bagi masa depan anak-anak negeri. Sistim UN adalah pembelajaran prilaku manipultif, koruptif, jual beli kejujuran, malas, dan senang dengan cara-cara jalan pintas. Sungguh sistim UN adalah pembelajaran bagi praktek manipulasi seperti yang digambarkan Ampuh Devayan. Praktek tersebut itulah yang secara jangka panjang membentuk sebuah karakter ”banditisme” ditubuh bangsa kita. Prilaku ini sangat menonjol bahkan menjadi ”prestasi” bangsa Indonesia di dunia Internasional.

Dunia pendidikan yang semula menjadi harapan kita semua untuk kembali membangun karakter bangsa yang bermartabat yang menghargai talenta (bakat) dan prestasi. Karena Melalui pendidikan pula kita haqul yakin manusia bisa mengembang kualitas potensi kemanusiaannya (afektif, kognif dan psikomotorik). Menurut pakar hal terpenting dari pendidikan adalah proses pendidikan itu sendiri. Proses yang memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan kualitas yang mensyaratkan mutu dan jumlah guru yang memadai, fasilitas dan suasana belajar serta buku penunjang kata Hamid Hasan pakar evaluasi kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung (Kompas 19/06/2007). 

Sebagaimana kita ketahui pula bahwa tidak semua sekolah kita memenuhi syarat tersebut, jangankan buku, gurupun kadang kurang (kualitas dan kuantitas) sebagaimana di keluhkan oleh Gubernur Irwandi Yusuf bahwa 50 persen guru di Aceh tidak memenuhi standarisasi sebagai tenaga pendidik (Serambi Indonesia 9/06/2007). Lalu haruskah kita menghukum generasi bangsa ini dengan vonis ”bodoh” tidak meluluskan Ujian Nasional? Sekali lagi sungguh kejam! 

Sistim UN tidak tepat untuk melihat dan menggambarkan mutu pendidikan meskipun para pemangku dunia pendidikan telah berbangga dengan peningkatan kelulusan Ujian Nasional pada tahun sebelumnya. UN tidaklah menggabarkan bahwa peningkatan jumlah kelulusan berarti kualitas pendidikan telah meningkat dengan sejumlah indikasi curang. Coba kita lihat bagaimana ekpresi siswa yang telah berhasil lulus UN meluapkan kegembiraan telah membuat orang tua dan masyarakat risau, dengan aksi coret-coret seragam, konvoi dengan kebut-kebutan dan sejumlah pesta yang menggambarkan ”kebrutalan” jiwa mereka. Bukankah dalam badan yang sehat belum tentu terdapat jiwa yang sehat? Disisi lain bagi yang tidak lulus galau dan terisak disudut jiwa yang menyakitkan. 

Adalah sebuah keniscayaan pendidikan di kembalikan pada semangat mengoptimalkan potensi kemanusiaan yang telah dianugerahkan Tuhan. Pertama, memaksimalkan potensi suci/fitrah yang cendrung pada kebenaran (Tuhan) , keadilan, kedamaian,  yang senantiasa diasah dalam proses pendidikan. Ini kemudian diuji dengan tes kujujuran, tes keberanian, tes kedisiplinan, dan tes untuk bisa hidup saling menghargai ditengah perbedaan.  Kedua, potensi intelektual sehingga siswa mampu mengembangkan gagasannya dengan ilmu pengetahuan sehingga memiliki kualitas kekhalifahan untuk mengatur, menata bumi ini dengan baik. Kemudian bisa di uji dengan logika, ide, serta memproduk gagasan sebagai alternatif solusi atas beberapa permasalahan yang ada dalam keluarga, masyarakat atau bangsa, sehingga bisa terus teruji nilai kemanusiaannya dengan mengembangkan gagasan, kreatifitas yang tidak terpenjara dalam doktrin dan dogma-dogma.

Ketiga, potensi nafsu (emosional) yang diarahkan untuk mengembangkan potensi dorongan pada hal-hal yang positif. Seperti obsesi ambisi untuk menjadi manusia unggul yang bisa saling menolong bukan saling menjatuhkan. Sehingga dengan potensi tersebut mampu mendorong lahirnya negarawan, usahawan, teknokrat yang memiliki kepribadian yang luhur, sensitifitas, empati terhadap saudaranya yang lain. Keempat, potensi ketrampilan hidup (life skill) berupa bakat harus terus diasah dalam dunia pendidikan secara sustainable (berkelanjutan) sehingga seorang siswa mampu memberikan karyanya sebagai prestasi hidupnya. Kemudian sebagai evaluasi ia diuji tinggkatan tertentu terhadap kemampuan mengembangkan bakat dan skillnya yang menjadi acuan kelulusan dari sebuah institusi pendidikan. 

Kalau sistim evaluasi yang menghargai bakat, minat seseorang dengan memakai acuan kelulusan yang tidak terpaku pada kemampuan bahasa indonesia, bahasa inggris, dan matematik, maka kita tidak akan perlu khawatir lagi atas masa depan bangsa ini karena setiap orang mampu mengaktualisasikan seluruh anugerah Tuhan yang berikan kepada setiap manusia. Maka wajah pendidikan kita menjadi indah, damai, elegan, berkeadilan, dan bermartabat.

Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi seluruh stakholder pendidikan untuk merombak sistim pendidikan terutama kurikulum, sistim evaluasi dan sistim kelulusan yang lebih menyentuh pada aspek potensi kemanusiaan (fitrah, intelektual, emosi, ketrampilan hidup). Kalau pemerintah masih mempertahankan sistim yang hanya menghargai prestasi dengan angka statistik sungguh negeri ini akan mewariskan prilaku yang tidak bisa mensyukuri nikmat Tuhan berupa potensi kemanusiaan. Lalu sampai kapan pemerintah mempertahankan sistim pendidikan yang sarat prilaku ”pembunuhan” karakter secara purba?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar