Minggu, 12 Juni 2011

Pendidikan Aceh Gratis?

Oleh: Muhammad Dayyan

Pendidikan gratis hingga akil baliq di Aceh yang digagas oleh kalangan DPR Aceh (Serambi 15/7/2008 hl.1) seharusnya sudah berjalan. Kenyataannya hanya wacana untuk menarik simpati menjelang pemilu 2009. Ini ironi karena pemerintah Aceh sudah cukup mampu untuk segera merealisasikan pendidikan gratis bagi masyarakat. Namun mengapa sampai saat ini elit politik masih terus berwacana ditengah banyaknya anak-anak yang terabaikan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan hanya karena persoalan biaya. Nyatanya pada hari pertama sekolah (Senin14/7/2008) kita masih melihat banyak anak usia sekolah tidak kesekolah sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka jadi gelandangan, mengemis dikota-kota, sebagian lagi ikut membantu orang tuanya mencari nafkah di laut, sawah, lading dan tambak.


Seharusnya pendidikan gratis di Aceh dengan sumber dana yang melimpah sudah harus segera direalisasikan. Maka bagi orang tua yang tidak menyokolahkan anaknya harus dihukum karena mengabaikan hak anak mendapatkan pendidikan. Kalau pemerintah hanya terus berwacana itu jelas tidak memberi pengaruh apa-apa selain hanya komuditas isu politik menjelang pemilu 2009. Mengapa kita katakan wacana ini sebagai komuditas politik? Karena elit politik di dewan dewan baru bicara kepentingan dan nasib rakyat menjelang pemilu. Kenapa tidak pada saat pertama masuk ke gedung dewan memperjuangkan sungguh-sungguh nasib pendidikan anak-anak di Aceh?

Ini tidak lain penyakit hegemoni materialisme sangat berselemak dan telah menggeser nurani dan akal para politisi yang begitu menggebu-gebu bicara nasib rakyat saat kampanye. Secerdas apa pun wacana yang dirancang, tapi jika nafsu yang menjadi medan perjuangannya, tetap saja nasib rakyat khususnya hak-hak pendidikan anak-anak bangsa akan terabaikan. Nyatanya para elit politik mulai fasih dan lantang bicara nasib rakyat menjelang pemilu seiring dengan tumbuhnya partai-partai baru yang sebagian besar politisi lama. Ini adalah salah satu upaya mengelabui rakyat.

Ironinya nasib pendidikan kita sampai saat ini masih sangat dipengaruhi oleh dinamika politik. Budaya politik yang sedang berlangsung memperlihatkan kepada kita, para politisi mulai memperdaya rakyat untuk kembali memperebutkan suara dari rakyat. Dan setelah berkuasa mereka menggunakan kekuasaan untuk kesenangannya. Misal menambah gaji, tunjangan, studi banding, plesiran dan lain-lain. Jarang sekali mereka bicara nasib petani, anak-nak putus sekolah. Adapun klimaks kondisi moral yang merosot saat ini lebih disebabkan oleh pengingkaran terhadap potensi fitrah kemanusiaanya.

Nasib pendidikan Aceh tidak akan berubah jika konstruk kesadaran elit politisi terus tumpul saat mereka berkuasa. Berangkat dari pemahaman tersebut nasib pendidikan Aceh masih sangat menyedihkan. Masih butuh perjuangan panjang rasanya untuk membangun kesadaran pemerintah Aceh, agar benar-benar memperhatikan nasib pendidikan Aceh. Sehingga mendorong tatanan hidup yang lebih manusiawi.

Sesungguhnya pendidikan sebagai upaya sadar membangun manusia. Maka sangat disayangkan jika pendidikan belakangan ini telah dikeramatkan oleh pengaruh politik dan ekonomi sehingga kehilangan peran kritisnya yang memihak dan mencerdaskan masyarakat. Sekolah dewasa ini berubah sebagai lembaga publik yang mahal. Belum lagi kita melihat lemahnya mutu dan eksistensi lembaga pendidikan di masyarakat pinggiran (daerah tertinggal) dari lembaga pendidikan yang tergolong maju (di daerah perkotaan) merupakan titik klimaks dari ketidakadilan pemerintah.

Pendidikan telah menjadi bagian dari komuditas politik. Sekolah untuk anak-anak miskin tersisih dan terkotak dalam kubu tersendiri. Padaha dalam UU Sistim Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, menyatakan bahwa dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan, jelas dinyatakan pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (pasal 4). Artinya, pemahaman dikotomis antara pendidikan kota dan pendidikan desa telah terhapuskan dengan sendirinya. Bahkan, sistem pendidikan nasional telah memberikan keseimbangan antara posisi iman, ilmu, dan amal (shaleh), yang tecermin dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta tecermin dalam kurikulum (pasal 36 ayat 3) di mana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya harus dipadukan menjadi satu. Tapi mengapa dalam pelaksanaan masih sebatas wacana?

Sekarang ini pendidikan gratis harus segera diwujudkan bukan lagi sekedar wacana. Disamping perlu segera meningkatkan para pengelola lembaga pendidikan di daerah perdesaan (termasuk dayah) agar mampu melakukan terobosan cerdas dan prospektif supaya produk pendidikan bisa lebih berkualitas. Jangan ada lagi kesenjangan di antara sekolah yang letaknya di kota dengan di gampong.

Sebab kualitas potensi anak didik itu tidak ditentukan oleh letak dan posisi lembaga pendidikan, apakah di kota ataupun di desa. Persoalan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan manusiawi masih sering diabaikan. Memang sudah ada upaya dari pemerintah mengirimkan guru-guru berpotensi ke daerah, tetapi disamping belum bisa bekerja secara maksimal juga karena tidak didukung oleh fasilitas, sarana, dan prasarana memadai yang jumlahnya sangat sedikit.

Maka para pengelola pendidikan di daerah-daerah tertinggal harus didorong untuk melahirkan semangat baru dan visi baru yang lebih demokratis dan desentralistis. Dengan demikian dapat mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas.
Oleh sebab itu pemerintah juga perlu membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kualitas pendidikan. Stake holders pendidikan bersama lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Sudah saatnya pemerintah Aceh menjamin seluruh anak-anak Aceh untuk mendapatkan hak-hak pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan guru serta mendorong pengelolaan pendidikan dengan mengembangkan kurikulum yang berkarakter Islami untuk melayani peserta didik berdasarkan potensi daerah sehingga segala sumber daya (manusia, sarana, media, sumber alam, dan fasilitas lain) yang ada di sekitar sekolah dan ditengah masyarakat mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh anak-anak Aceh untuk mencapai Aceh yang bebas dari kebodohan. Dengan demikian Aceh yang bermartabat, damai, sejahtera bukan hanya milik segelintir orang. Tapi kapan? Kalau elit yang mengelola kekuasaan asyik dengan kepentingannya, dan nasib rakyat hanya wacana? Wallahu’alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar