Sabtu, 04 Juni 2011

Instrumen Ekonomi Syari‘ah

Oleh: Muhammad Dayyan


NANGGROE Aceh Darussalam sudah ditetapkan sebagai daerah yang menerapkan Syari‘at Islam. Melalui UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan masyarakat Aceh yang Islami. Salah satu aspek pelaksanaan Syari‘at Islam adalah dalam bidang ekonomi atau Mu‘amalah. Sejatinya kita jalankan ekonomi yang berlandaskan pada nilai-nilai Ilahiyah guna menuntun pada kehidupan ekonomi yang adil dalam mencapai kesejahteraan dunia akhirat.


Sayangnya bidang mua‘amalah kurang mendapat perhatian dalam penerapan syariat Islam, buktinya, kejahatan dalam ekonomi kurang mendapat pengawasan dan tidak ada sanksi tegas bagai yang melakukan kecurangan. Kemudian penggarapan potensi zakat belum maksimal terutama terhadap perusahaan dan pengusaha-pengusaha di Aceh. Belum lagi sejumlah besar perbankan di Aceh memakai sistim bunga bahkan BPD sebagai milik pemerintah Aceh belum sepenuhnya memakai sistim perbankan Islam. Padahal mu‘amalah sebagai aktifitas manusia dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya merupakan salah satu aspek vital untuk mencapai masyarakat Islami. Banyak diantara kita yang lebih senang dan enjoy dengan ekonomi yang dibangun atas landasan materi saja (kapitalis), dan terbukti gagal yang menuai goncangan krisis ekonomi global yang dahsyat. Dampaknya telah merusak tatanan ekonomi dengan melebarnya kesenjangan sosial.

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Umar ibn Khathab r.a mendatangi sebuah pasar didapatinya dominasi pedagang dari bukan kaum kita. Tampak dari raut wajah beliau perasaan tidak senang. Seorang yang berada didekatnya bertanya, Apakah yang menyebabkan Amirul Mukminin tidak senang dengan keadaan ini?. Bukankah Allah telah menaklukkan kepada kita banyak negeri, dan memberikan pampasan perang yang banyak sehingga kita tidak perlu lagi berniaga di pasar ini? Umar menjawab “Celaka kamu, bila kamu tinggalkan perniagaan ini sebagai suatu tanggung jawab. Niscaya kelak laki-laki diantara kamu akan tergantung pada laki-laki diantara mereka, dan perempuan-perempuan diantara kamu akan tergantung pada perempuan-perempuan diantara mereka” (Karim, 2007. 21).

Bahkan dalam riwayat lain, Umar pernah mengusir pedagang yang tidak paham dengan hukum mu‘amalah Islam, karena dapat merusak tatanan perekonomian. Kisah tersebut merupakan pelajaran penting bagi kita bahwa bila perekonomian tidak kita kuasai maka ummat Islam akan tergantung pada ummat yang lain. Dan perekonomian akan dikendalikan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana berbisnis yang sesuai dengan syariat?

Aktifitas bisnis sesuai syari‘at dengan memakai paradigma ekonomi syari‘ah. Yaitu menekankan seluruh kegiatan bisnis berpegang pada nilai-nilai Tauhid, menyeimbangkan kepentingan dunia dan kepentingan akhirat sekaligus. Menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dengan mengedepankan akhlak yang terpuji dalam kebijakan ekonomi dan laku bisnis sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah. Mengedepankan kemashlahatan masyarakat atas kepentingan pribadi. Menegakkan prinsip-prinsip kesamaan hak dan kewajiban di antara sesama manusia. Dan memperhatikan perintah maupun larangan Allah dan Rasul-Nya dalam melaksanakan aktifitas bisnis.

Kehidupan modern tidak bisa dipisahkan dengan intrumen keuangan dalam menjalankan bisnis. Untuk itu pula lahirnya institusi bisnis seperti, bank, bursa saham, ansuransi, reksadana, dan lembaga keuangan lainnya seperti baitul qiradh, baital mal berperan vital aktivitas bisnis. Lembaga tersebut sejatinya mampu berperan penting dalam mendistribusikan kekayaan dengan alokasi sumberdaya yang berkeadilan dan merata. Istitusi bisnis juga berfungsi sebagai katalisator menghilangkan kesenjangan sosial antara orang yang berpunya dengan kelompok kurang beruntung. Juga turut mendorong masyarakat kearah kehidupan yang lebih jujur, produktif sehingga pada akhirnya menciptakan harmonosasi social.

Sayangnya sebagian dari lembaga keuangan tersebut lebih mengedepankan keuntungan materi saja dan sering mengabaikan rasa keadilan dalam aktifitas ekonomi. Dalam ekonomi konvensional uang sebagai media tukar menukar manfa‘at suatu barang sering dipakai sebagai stock/barang yang diperjualbelikan dengan instrument bunga. Dengan itu pula orang sering membudidaya uang di bank dan transaksi jual beli dipasar uang atau bursa saham.

Pakar ekonomi Islam antara lain Imam Ghazali, menjelaskan bahwa uang adalah uang itu sendiri bukan sebagai capital (stock) yang bersifat mengalir (flow concept). Maka capital merupakan barang milik pribadi sedangkan uang adalah barang publik karena ia harus mengalir tidak boleh mengendap (Karim; 2002, 19). Uang sebagai darah dalam ekonomi harus dialirkan dalam sektor riil/kerja produktif. Uang jika dianalogikan dengan air, maka jika air mengalir akan membersihkan kotoran dan jika diendapkan akan keruh dan menimbulkan berbagai penyakit. Apabila uang dialirkan, maka uang tersebut akan mampu menyehatkan bagi ekonomi.

Imam Ghazali sangat mengecam orang-orang yang menimbun uang yang dikatakannya sebagai penjahat. Pada zamannya banyak orang yang melebur dinar dan dirham. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada sang pencipta. Menurut Karim (2007, 12), melebur uang adalah cara primitif menarik uang dari peredaran, cara modern dengan melarikannya keluar negeri untuk jangka panjang. Begitu pula dengan menimbun uang dibawah bantal merupakan cara paling primitif, sedangkan cara modern adalah menyimpan uang di bank-bank pada saat bank-bank tidak mampu menyalurkan dananya dengan berbagai alasan. Bagaimana tidak disebut menimbun bila dana masyarakat disedot terus dengan iming-iming bunga tinggi, namun tidak mampu menyalurkannya. Tentu bank tidak ingin rugi membiarkan uang masyarakat itu menganggur. Jalan yang paling aman bagi bank adalah menempatkannya di Bank Sentral dengan membeli SBI.

Apa tawaran Islam dalam mengalirkan uang? Bagaimanapun kita perlu intrumen agar uang sebagai mata air ekonomi dapat membawa dampak kemaslahatan bagi kehidupan sosial yang berkeadilan. Instrumen merupakan suatu mekanisme distribusi kekayaan yang mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga kekayaan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok elite masyarakat saja. Sebagaimana Allah swt peringatkan dalam Alquan, surat Alhasyr 59; ayat 7, ’‘... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ....‘‘

Ekonomi Syari‘ah bertujuan mencapai sasaran keadilan. Implementasinya memakai instrumen zakat, shadaqah dan sistim berbagi untung dan kerugian. Pertama, Zakat atau Shadaqah sebagai Instrumen mengalirkan uang yang utama dalam Islam sebagaimana firman Allah dalam QS.At-Taubah ayat 103 “Ambilah Shadaqah (Zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”.

Menurut Capra (2000; 4), zakat atau shadaqah merupakan pajak religius yang menyatukan aturan prilaku yang mengatur dan mengorganisir ummat manusia baik dalam kehidupun spiritual maupun material, sebagai tugas ilahiyah dalam menciptakan keadilan sosial. Melalui program zakat akan dapat mengikis ketidakadilan yang masih tersisa sehingga menciptakan suatu distribusi pendapatan yang manusiawi dan seirama dengan konsep persaudaraan kemanusiaan.

Kelompok yang memperoleh manfa‘at sebagaimana disebutkan dalam At-Taubah ayat 60 tersebut menjadi landasan teoritis dalam distribusi sumber-sumber ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan dan pemberdayaan fakir dan miskin serta orang-orang papa yang merupakan tujuan pembelanjaan yang sangat penting berdasarkan perioritas. Lebih jauh bantuan kepada orang-orang yang berhutang dan musafir yang menjamin makna keamanan sosial.

Kedua instrumen berbagi untung dan resiko (profit and loss sharing) sebagai pengganti bunga. Dengan berbagi untung dan resiko tidak ada pihak yang dizalimi, keduanya diposisikan setara. Aqad kerjasama dalam hal usaha dan modal antara dua orang atau lebih dengan pembagian keuntungan dan resiko sesuai perjanjian. Misal, syirkah ’inan, syirkah muwafadhah, syirkah abdan, syirkah wujuh, dan syirkah mudharabah (investasi). Hal ini bertujuan agar setiap masyarakat yang mempunyai kemampuan berbeda (miskin, kaya, bodoh dan pandai) dapat bersinergi menunjang kehidupan ummat yang berkeadilan.

Marilah kita berbisnis dengan syariat! Mulailah dengan niat yang tulus, agar pekerjaan sebagai kebiasaan menjadi ibadah, mencari keuntungan dengan tidak melupakan keutungan akhirat. Supaya rizki barakah tanamkan keinginan untuk menjaga dari hal-hal yang diharamkan, memilihara diri dari kehinaan meminta-minta, menguatkan diri untuk melakukan ibadah kepada Allah, menjaga silaturahmi dan hubungan kerabat dengan akhlak yang mulia.

Senantiasa menjalankan usaha yang halal, menunaikan hak-hak yang harus ditunaikan, menghindari riba atau berbagai bentuk usaha haram, menghindari memakan harta orang lain dengan cara haram, menghindari sikap yang membahayakan orang. menjaga komitmen terhadap peraturan dalam bingkai Syari‘at, bersikap loyal terhadap kaum muslimi, dan terus mempelajari hukum-hukum dan adab mu‘amalah Islam. Wallahu‘alam!

Opini Serambi Indonesia 
Tanggal 18/12/2008 10:30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar