Kamis, 02 Juni 2011

Syari'at Islam Jalan Pembebasan (Tanggapan untuk Mukhlisuddin Ilyas)

Oleh: Muhammad Dayyan
Di tengah derita sebagian masyarakat Aceh yang kini tertimpa musibah banjir, kita sibuk berdebat. Misal, kontroversial tentang Syari‘at Islam menyusul gagasan LSM Yayasan Insan Cita Madani (YICM) yang akan membuat polling syiariat Islam. Oleh Ketua MPU menduga ada missi pendangkalan aqidah di balik kegiatan tersebut, (serambi indonesia 28/12/2006).

Penyataan dari MPU sempat menyulutkan kecaman dari GEMPAR dan BKPRMI Aceh Utara (baca Serambi29/12/2006) yang menambah ketegangan yang seolah-olah ada lembaga yang ingin mengutak atik pelaksannaan Syari‘at Islam di Aceh. Kemudian ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis, mungkinkah mereka melakukan polling syari‘at Islam seprti diduga ketua MPU? Benarkah YICM bekerjasama partnership menggalang kekuatan untuk menentang syari‘at Islam? Siapa sesungguhnya yang menentang dan mendustakan Syari‘at?

Dari beberapa diskusi yang penulis ikuti yang dilaksanakan YICM, antara lain tentang evaluasi penerapan syari‘at Islam yang turut serta didalamnya Prof Dr H Alyasa‘ Abubakar, selaku kadis Syari‘at Islam NAD, beliau banyak mengeluhkan betapa qanun syari‘at Islam masih jauh dari sempurna dan paradok dengan hukum Nasional. Maka beliau menyambut dan memberi apresiasi positif terhadap seluruh usaha yang sedang dan akan dijalankan oleh YICM maupun elemen lain untuk penyempurnaan syari‘at Islam.

Mengenai kontroversi polling, sempat diklarifikasi YICM (Serambi Indonesia 30/12/2006. LSM itu menjelaskan polling bertujuan menghimpun data pendukung dalam upaya menggali aspirasi masyarakat Aceh tentang bagaimana cara penerapan Syari‘at Islam secara kaffah di Aceh yang mencakup seluruh aspek kehidupan (politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Nantinya akan menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan dalam menetapkan Qanun-qanun Syariat Islam yang lebih menyentuh rasa keadilan di tengah masyarakat.

Jika saja kita mencermati penjelasan YICM dengan fikiran positif, bahwa LSM itu berniat baik, maka apa yang dituduhkan saudara Mukhlisudin Ilyas dalam tulisan (baca serambi 02/01/2007), seolah-olah telah terjadi usaha sistematis dari YICM untuk menggugat pelaksanaan syari‘at Islam secara formalitas di Aceh, menurut penulis sebagai opini yang tak sehat. Apalagi berburuk sangka bahwa aktifitas itu dibiayai NGO asing dengan misi pendangkalan aqidah.

Penulis mengenal dekat background YICM yang merupakan aktivis organisasi Islam dan memiliki perjuangan jelas tentang Islam. Karena akan sangat naif kalau mereka gampang ditunggangi anasirlain, apalagi menyangkut soal aqidah.

Dalam suatu diskusi YICM yang turut penulis hadiri bertopik “Menyikapi problematika pelaksanaan Qanun Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam” pada tanggal 14 November 2006 yang mewacanakan masalah bagi perwujudan tata pemerintahan yang baik dengan menggunakan wacana Syariah. Diskusi yang menghadirkan Drs M Nasir Ilyas (Kadis Syariat Islam Kota Banda Aceh) sebagai narasumber dan diikuti sejumlah elemen mahasiswa, Ormas, OKP, organisasi perempuan, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat binaan YICM, tidak terlihat adanya missi YICM untuk menggalang dan memprovokasi masyarakat guna menentang syari‘at Islam sebagaimana yang dituduhkan.

Tanpa bermaksud membela LSM itu, sebenarnya kita terlalu cepat latah tanpa menyelisik terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Kenyataan saat ini kita kurang mengkaji betapa eksekusi qanun syariat sendiri banyak menimpa kaum yang miskin dan lemah. Sejatinya syaiat Islam tidak sekedar hanya diperdebatkan sebagaimana ditafsirkan saudara Mukhlisuddin, tapi bagaimana proses pelaksanaan Syariat Islam ada kemauam politik Pemerintah melakukan penyempurnaan secara lebih radikal atas segala perangkat hukum Syariah. Dengan kata lain pemberlakuan Syariat yang kaffah lebih berpihak kepada kaum musthadh‘afin.

Sesungguhnya sudah jelas siapa yang mendustakan Syari‘at selama ini yaitu mereka yang mengabaikan hak-hak anak yatim dan hak-hak fakir miskin (QS. Al-Ma‘un 1-3) baik akibat konflik yang berkepanjangan maupun akaibat bencana alam yang semakin menderita. Mereka yang terus meraup keuntungan dengan korupsi maupun penyelewenagan lainnya harus segera dihentikan. Maka diperlukan usaha keras dari seluruh elemen masyarkat Aceh terutama Pemerintah Daerah, cendikiawan (fuqaha) dan Ulama untuk merancang dan menetapkan qanun-qanun Syariat Islam yang lebih menjawab kebutuhan masyarakat sekarang dan yang akan datang. Sehingga wajah syariat Islam akan lebih Adil dan sungguh-sungguh menjadi pembawa kemaslahatan sebagaimana sifat Islam sebagai rahmatanlil‘alamin.

Penerapan Syari‘at Islam mestinya dicontohkan pemerintah dan ulama. Misal, bagaimana pemenuhan hak asasi masyarakat Aceh yang sudah lama diabaikan oleh negara, ketimbang mereka dihukum karena dituduh melanggar Syari‘at Islam. Ironinya, agamajustru kita jadikan komoditi politik dan menjadi media penzaliman terhadap rakyat kecil yang mereka secara pendidikan dan tingkat ekonomi sudah lama ditindas. Mereka yang hidup dalam garis kemiskinan ini sesungguhnya bukan semata-mata disebabkan ketidakmampuan mereka secara individual, tetapi lebih disebabkan karena struktur sosial yang bersifat menghisap dan memerangkap mereka seperti itu.

Konsep Syari‘at Islam seharusnya memberi ruang dan jalan bagi pembebesan kaum mustadh‘afin lebih lebar tidak sempit dan pengap seperti sekarang. Membuat qanun yang berkarakter atau dapat memperbaiki situasi dan kondisi masyarakat miskin di Aceh baikakibat konflik yang berkepanjangan maupun bencana alam sekali lagi harus menjadi perioritas.

Kenyataan sosial akibat struktur sosial yang abnormal selama ini sejatinya kita refleksi dan evaluasi. Sesungguhnya dari sudut pandang fiqih, itu menjadi wajib hukumnya merombak. Karena Syari‘at Islam sesungguhnya menekankan pentingnya menciptakan sistem sosial yang berbasis keadilan dan kepatutan sebagai tujuan utama pelaksanaan syari‘at Islam (maqashidul syar‘i). Rasul SAW dalam salah satu hadisnya, secara verbal mengingatkan “kemiskinan itu dekat dengan kekafiran”. Jadi jelas siapa sesungguhnya yang melakukan pendangkalan akidah selama ini. Ini berarti ketika sistem sosial gagal mengeliminasi kemiskinan, berarti sistem sosial telah berada dalam “kekafiran kolektif”. Na‘uzubillah


Opini Serambi Indonesia
08/01/2007 09:59 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar