Senin, 13 Juni 2011

Refleksi Formalisasi Syari’at Islam



Oleh: Muhammad Dayyan & Irwan Adaby

Pembahasan Syari’at Islam hendaknya tidak pernah berhenti. Ibarat mata air yang akan terus mengalir membasuh jiwa manusia yang gersang. Syariat Islam berangkat dari terminology bahasa berarti jalan atau bermakna tempat mengalirnya air atau jalan menuju mata air. Prof. Syahrizal (guru besar hukum Islam IAIN Ar-Raniry) dalam seminar studi komperatif pelaksanaan unsur-unsur Syariat Islam di berbagai negara & relevansinya dengan tata pemerintahan yang ideal pada tanggal 29 Januari 2007, mengemukakan ”makna tersebut punya logika bahwa ajaran Islam itu kebutuhan semua makhluq karena tatanannya bisa mengantarkan orang kepada hidup yang lebih baik. Para ulama mendefinisikan syariat adalah aturan dan tuntunan dari Allah, tuntunan ini mengatur semua aspek kehidupan kita menjadi yang lebih baik dan benar.


Dalam satu refleksi lima tahun penerapan unsur-unsur Syari’at Islam 21 Januari 2007 oleh Yayasan Insan Cita Madani (YICM) di gedung pusat akademik Unsyiah seorang akademisi IAIN Fuad Mardhatillah mengungkapkan bahwa penerapan Syariat Islam secara sosiologis bertujuan untuk menetapkan jalan kehidupan yang benar dan memberikan jalan keluar atas segala masalah hidup manusia. Maka agama dengan Syari’atnya dihadirkan sebagai petunjuk yang di dalamnya memberikan inspirasi dan argumentasi untuk mencari solusi hidup umat.

Disinilah signifikansinya Syari’at Islam perlu terus dikaji, dibicarakan dan didiskusikan untuk memberi jawaban atas berbagai persoalan umat secara sosiologis dan teologis. Salah satu misi Syariat Islam adalah untuk merubah tatanan umat dengan ruh Islam yang hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sehingga sistem yang berasal dari wahyu ini di harapkan dapat memperbaiki keadaan umat. Sebagaimana hasil deep interview yang dilakukan oleh Deputy Research YICM pada Desember 2006, bahwa 82 % masyarakat yakin kalau syari’at Islam bisa menyelesaikan seluruh persoalan terutama birokrasi yang korup dan pemimpin yang tidak amanah. Tapi lagi-lagi harapan ini masih sebatas harapan sebab tantangan dalam realitas sosial kita masih kompleks. Realitas objektif yang ada di Aceh hari ini adalah krisis multi dimensi, akumulasi dari kesalahan masa lalu dari segala sektor kehidupan, termasuk teologi kita, sehingga Syari’at Islam belum memberikan insipirasi perbaikan perilaku. Hasil poling menunjukkan bahwa konsepsi kebijakan penerapan Syariat Islam dari 794 responden menjawab qanun yang sedang di berlakukan 81% belum sesuai harapan masyarakat, 9% menjawab sesuai, dan 82% dari 772 responden menganggap implementasi qanun belum berkontribusi dalam memperbaiki tata pemerintahan Aceh, 6% ya, 2% ragu-ragu.

Seiring dengan waktu yang terus berjalan pemberlakuan kebijakan penerapan Syariat Islam di Aceh saat ini terus diuji. Kasus-kasus yang tidak hanya dilakoni oleh masyarakat bahkan aparatur pemerintah sendiri masih jauh dari karakter Islami. Misalnya tertangkapnya  personel wilayatul hisbah (WH) dalam kasus khalwat, berita mesum pegawai pemerintah di Abdya dan parahnya lagi seorang hakim yang juga kepala pengadilan negeri Sabang tertangkap yang diduga kuat telah berkhalwat dengan perempuan bukan muhrimnya. Dari beberapa kejadian di atas semakin menambah daftar panjang para pejabat/aparatur pemerintahan yang melanggar kebijakan Syariat Islam yang telah diformilkan oleh pemerintah Aceh sejak tahun 2002 yang lalu. Sebelumnya Wakil ketua DPRK Aceh Tamiang dan Anggota DPRK Lhokseumawe juga diduga kuat melakukan khawat. Ironinya lagi kasus pelanggaran yang melibatkan aparatur negara tidak jelas proses hukumnya. Lain halnya bila yang melakukan rakyat biasa, maka proses eksekusi terjadi hanya dalam hitungan minggu. Sebuah fenomena ironis, ketika Syariat Islam yang diharapkan mampu mengeluarkan masyarakat Aceh dari kejahiliyahan moral kepada kondisi kemuliaan akhlak, ternistakan oleh ulah para penegak hukum yang memberi kesan tidak menginginkan Syariat Islam ini berlaku sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Fenomena di atas, menggiring asumsi sebagian masyarakat di Aceh bahwa syariat Islam yang sedang berlangsung di bumi Serambi Mekkah ini merupakan syariat Islam yang “bermahzab elite”, dalam pengertian bahwa aspek-aspek hukum Islam yang hendak diformalkan keberlakukannya adalah bagian-bagian yang sejalan dengan kepentingan elit atau setidak-tidaknya tidak mengganggu kepentingan elit.  Ini semakin diperkuat dengan kenyataan minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka perumusan qanun pelaksanaan syari’at Islam tersebut.  Elit politik tiba-tiba saja mengeluarkan suatu kebijakan tanpa merasa perlu untuk mendengar pendapat rakyat.  Tatkala ada inisiasi dari masyarakat untuk berdiskusi tentang persoalan tersebut, elit terkesan tidak siap dan cenderung menghindarinya. 

Terbatasnya akses publik untuk memberikan kontribusi gagasan maupun pandangannya telah menyebabkan dominannya pengaruh elit dalam pelaksanaan Syari’at Islam. Ini pula yang menyebabkan wajah syariat Islam menjadi sangat artifisial dan simbolik. Maka pelanggaran qanun khalwat yang dilakukan oleh para aparatur negara menjadi tantangan bagi pemerintah karena masyarakat Aceh berharap pemerintah mampu menunjukkan keseriusan dan komitmennya terhadap formalisasi Syariat Islam dibumi serambi Mekkah ini.
 
Menyadari rumitnya problem sosial masyarakat tidak mungkin hanya mengatakan bahwa Syari’at Islam sudah lengkap dan mampu menjawab seluruh persoalan kehidupan dan membebankannya pada elit pemerintah. Tetapi masyarakat sebagai penganutnya harus mempelajari dan mengkaji selanjutnya mengamalkannya. Para Ulama dan cendikiawan hendaknya dapat merumuskan dalam suatu gagasan konsepsi praktis-operasional guna dapat menjadi pedoman bagi masyarakat untuk merubah seluruh aspek kehidupan yang dianggap sudah jauh dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan demikian Syari’at Islam bisa menstimulasi kesadaran dengan pengetahuan sebagaimana harapan masyarakat bahwa Syari’at Islam juga mampu mempengaruhi tatanan sosial, ekonomi, politik, budaya dan tata kelola birokrasi pemerintah yang baik. Pada aspek sosiologis dapat dimulai dari pemimpin yang jujur, amanah, serta dapat menjadi teladan lebih dulu kemudian diikuti semua level sosial, sistim ekonomi dan politik yang sesuai dengan Syari’at Islam.

Diperlukan rangkaian kegiatan yang berkelanjutan untuk mencapai cita-cita tersebut mulai dari pengajian, fokus group diskusi, penelitian, seminar, workshop, talkshow di radio dan telivisi serta kegiatan lainnya untuk mendorong dan mengadvokasi supaya Syari’at Islam bisa menjadi mata air yang mengalir berbagai solusi kreatif mentransformasi tatanan sosial yang lebih bagus sesuai dengan sasaran Syariat Islam mewujudkan masyarakat madani yang damai, sejahtera dunia akhirat dalam rahmat dan ridha Allah SWT. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar