Sabtu, 04 Juni 2011

Tujuan Ekonomi Syari‘ah

Oleh: Muhammad Dayyan




FALSAFAH kapitalisme telah merasuki masyarakat kita, buktinya gaya hidup materialis, konsumtif dan hedonis merebak. Paradigma kapitalis yang sekuler cendrung memisahkan persoalan dunia dengan agama, dengan mudah kita dapati barang yang merusak dan leluasa diperjualbelikan, seperti, minuman keras, psikotropika (narkoba, ganja), barang kadaluarsa, barang palsu dan lain sebagainya . Halal atau haramnya suatu produk tidak lagi menentukan sah tidaknya jual beli. Perlakuan konsumen akan baik jika bermodal besar. Bagi yang miskin silakan minggir. Proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa sekedar memenuhi kebutuhan dan keinginan telah memacu laju eksploitasi sumber daya alam secara liar dan serakah.


Perlakuan baik dan kehormatan hanya untuk mereka yang bermodal. Untung selangitlah yang dikejar, sedangkan kesejahteraan sosial termarginal. Beras dari kerja keras petani miskin, orang kaya yang bermodal yang banyak untung. Alhasil, yang miskin terus merintih meski roda perputaran perekonomian sangat kencang. Menurut Prof. Dr. Rokhmin Dahuri (2008), sedikitnya ada tiga kekeliruan paradigmatik ekonomi kapitalis yang menyebabkan lingkaran setan krisis ekonomi. Pertama, tujuan ekonomi kapitalis bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga memuaskan keinginan manusia berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Keinginan manusia tidak dilandasi oleh nilai-nilai Illahiyah, sifatnya menjadi tak terbatas. Sementara itu, kapasitas alam dan teknologi dalam menghasilkan sejumlah alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia berupa barang dan jasa ada batasnya.

Kelangkaan alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia dipandang sebagai masalah pokok ekonomi. Padahal, masalah ekonomi terletak pada distribusi kebutuhan barang/jasa di antara warga dunia yang selama ini tidak adil. Para kapitalis hanya mengutamakan kepentingan individu atau kelompoknya dengan menindas pihak lain yang lemah. Filosofi hidup inilah yang mendasari perilaku liar, curang, dan jahat para investor keuangan dan korporasi multinasional AS, Eropa, dan negara-negara kapitalis lainnya (Soros, 2008).Kedua, kehidupan kapitalisme modern digerakkan secara dominan oleh ekonomi berbasis sektor keuangan, bukan ekonomi berbasis sektor riil. Karena itu, keuntungan ekonomi diperoleh bukan dari aktivitas investasi dan usaha produktif dengan menghasilkan berbagai barang dan jasa, tetapi investasi spekulatif dan transaksi derivatif berisiko tinggi. Dengan kata lain, kapitalisme menangguk keuntungan bukan melalui kreativitas dan kerja keras, melainkan melalui kegiatan ekonomi nonriil. Tak heran pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pun tidak berkualitas, hanya sedikit menyerap tenaga kerja, dan menguntungkan kelompok atas yang umumnya tinggal di perkotaan.
Dalam buaian ekonomi berbasis moneter inilah, kapitalisme tak mungkin lepas dari praktik bunga (riba). Padahal perbedaan tingkat suku bunga yang signifikan antar negara itulah yang membuat para pialang keuangan dengan seenaknya mengeruk keuntungan melalui investasi uang panas. Aliran uang panas dari satu negara ke negara lain dalam jumlah yang luar biasa besarnya dan berlangsung sangat cepat, selama ini menjadi biang kerok terjadinya kepanikan finansial yang acap kali berujung pada krisis ekonomi.Inilah momentum yang tepat untuk bekerja keras mensyariahkan perekonomian kita.

Menegakkan syariat-Nya di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang ringan. Kita mesti bersungguh-sungguh melaksanakan sistem ekonomi syariah dalam arti sebenarnya. Roh atau spirit ekonomi Islam harus muncul dalam diri setiap individu dan institusi pengusung ekonomi syariah. Roh inilah yang nantinya akan menggerakkan sendi-sendi kekuatan para pemangku kepentingan atau stakeholder ekonomi syariah.

Yakinlah bahwa dengan komitmen dan semangat berekonomi Islam yang tinggi, Allah akan memberikan jalan keluar yang terbaik dan mashlahat. Roh ekonomi syariah itu, antara lain kesungguhan (mujahadah), keterbukaan, keadilan, keseimbangan dan tidak berlaku zalim. Kemudian untuk mengembangkan ekonomi syariah diperlukan sinergi antara industri perbankan, asuransi syariah dan Lembaga Keuangan Syari‘ah lainnya. Mengedepankan prinsip ta‘awwun (saling membantu) bukan saling menjegal dan saling menggunting dalam lipatan hanya karena mengejar keuntungan atau profit semata

Ekonomi syariah ditopang oleh prinsip Tauhid dalam proses mendapatkan harta serta pemanfaatan harta sesuai dengan mekanisme dan aturan-Nya. Harta harus diperoleh dengan cara-cara yang etis dan halal, seperti tidak boleh ada unsur judi, riba, dan gharar (tidak transparan), menipu dan lain sebagainya. Demikian pula dalam pemanfaatannya, harta harus dimanfaatkan sesuai dengan cara-cara yang etis dan halal. Dalam setiap harta yang dimiliki oleh seseorang ada hak milik orang lain yang kurang beruntung.

Penerapan ekonomi syariah dengan peran lembaga keuangan syari‘ah (LKS) dapat mencegah terjadinya krisis keuangan seperti yang terjadi di AS saat ini. Kalau pemberian fasilitas pembiayaan tidak didasarkan atas pinjaman uang yang berdasarkan bunga. Maka lembaga pembiayaan syariah bukan kegiatan bisnis keuangan semata, melainkan membawa nama syariah (Islam) dengan latar belakang misi suci yang dikandungnya. Dengan demikian, maka lembaga pembiayaan syariah merupakan salah satu instrumen pemberdayaan umat.

Provinsi Aceh yang masih banyak warga miskin, sejatinya pengembangan lembaga pembiayaan syariah tidak terlepas dari pembangunan baitul maal yang merupakan seperangkat instrumen pembiayaan, yaitu zakat, infak, sedekah, serta lembaga pembiayaan syariah yang dikemas dalam kebijakan komprehensif yang saling mengait sesuai peruntukannya masing-masing

Kegiatan ekonomi tak sekadar mengais keuntungan, tapi juga membantu orang tidak mampu. Jika ini dilakukan maka bukan keuntungan dunia saja (QS Albaqarah: 261), tapi juga akhirat akan diraih, yaitu kesucian jiwa (QS Al-Taubah: 103). Sudah saatnya kita konsisten memakai sistem ekonomi yang mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi setiap warga, serta terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kemampuan dan upaya individual, daya dukung lingkungan, dan norma keadilan. Suatu sistem ekonomi yang bebas dari jebakan inflasi permanen sehingga mampu menyediakan mekanisme kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan dan berkeadilan bagi semua.

Saat ini sistim keuangan Islam (syariah) telah dijadikan sebagai agenda nasional. Manariknya lagi sistim keuangan Islam sudah menjadi fenomena global yang telah terbukti sebagai suatu sistem keuangan yang lebih adil dan mampu bertahan di tengah krisis ekonomi. Tidak heran negara-negara non-Muslim juga tertarik menerapkan keuangan Islam di negaranya. Bahkan, pusat-pusat keuangan dunia, seperti New York, Tokyo, London, Hong Kong, dan Singapura nyata-nyata sudah mendeklarasikan keinginan mereka untuk menjadi pusat keuangan Islam dunia.

Mmasyarakat Aceh yang telah mendeklarasikan diri sebagai daerah penerapan syari‘at Islam secara kaffah perlu segera penyelarasan seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek keuangan kepada syariat Islam. Para ulama, cendikiawan perlu terus mendorong umat untuk menyelaraskan semua aspek kehidupan sesuai ajaran agamanya. Islam adalah sebuah cara hidup yang komprehensif yang tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat ritual, tetapi juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, politik, dan aspek kehidupan lainnya.

Lembaga keuangan yang berdasarkan syariat Islam, adalah untuk mewujudkan tujuan syariah (maqasid al-syariah ). Secara umum, tujuan syariah dikategorikan kepada pendidikan (tarbiyah ), keadilan (adalah ), dan kesejahteraan umat (maslahatul ammah). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, lembaga keuangan syari‘ah (LKS), seperti bank syariah, ansuransi takaful, permodalan madani dan lainnya mesti ikut serta dalam program pengenalan keuangan Islam kepada masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan institusi pendidikan, institusi pelatihan, dan media masa.

LKS diharapkan mendukung dan mensponsori institusi-institusi pendidikan yang menawarkan program akademik keuangan Islam. Hal ini sangat berguna dikarenakan saat ini jumlah praktisi keuangan Islam yang memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang keuangan Islam masih sangat terbatas.

Kesejahteraan umat dapat diwujudkan bank syariah melalui alokasi pembiayaan (financing ) kepada sektor-sektor yang membawa manfaat bagi orang banyak dan dapat digunakan sebagai sarana dakwah penyebaran Islam. Misal kebanyakan masyarakat Aceh adalah petani yang notabene memerlukan pembiayaan pertanian, maka lembaga keuangan syariah mesti mengalokasikan pembiayaannya pada sektor pertanian dalam persentase yang signifikan meskipun pembiayaan lain lebih menjanjikan keuntungan yang lebih tinggi. Sudah seharusnya ada keseimbangan antara pencapaian tujuan komersial dan tujuan-tujuan sosial keagamaan sebagaimana diajarkan dalam syariat Islam.
 

Opini Serambi Indonesia
Tanggal 13/11/2008 09:35 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar