Minggu, 12 Juni 2011

Memperkuat Kualitas Demokrasi

Oleh: Muhammad Dayyan
Republik Indonesia  sudah berusia 63 tahun dan akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang kesepuluh pada tahun 2009. Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.  diselenggarakan setiap lima tahun yang dimulai dengan pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian pemilu Presiden dan Wakil Presiden republik Indonesia .

Tidak heran dalam bulan-bulan terakhir ini kita melihat elit-elit politik mulai kasak kusuk merancang dan melancarkan strategi baik melalui media cetak maupun elektronik untuk menarik simpati. Kesibukan pemerintahpun  tersedot untuk mempersiapkan pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan itu. Dimulai dari penjaringan orang-orang yang akan duduk dilembaga penyelenggara pemilu dari tingkat pusat sampai desa/gampong. Lembaga tersebut adalah komisi pemilihan umum (KPU) khusus bagi Aceh disebut komisi independen pemilihan (KIP) sesuai dengan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Walaupun tahapan ini terkesan sedikit lamban khususnya di Aceh yang seharusnya lembaga ini sudah harus bekerja untuk melakukan tahapan verivikasi faktual bagi parpol yang sudah dinyatakan lulus administrasi oleh departemen hukum dan HAM. Juga tugas yang seharusnya juga sudah harus dilaksanakan adalah pemutakhiran data pemilih.
Kelambanan ini tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan antar kekuatan politik. Namun kita berharap lembaga yang dimanahkan untuk menjaring orang yang duduk lembaga penyelenggara pemilu betul-betul orang yang memilki integritas, profesional, dan akuntabel.
Secara pengalaman bangsa Indonesia , sudah sembilan kali menyelenggarakan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 dengan payung hukum UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dalam sejarah pemilu dicatat sebagai pemilu yang berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia (baca; sejarah pemilu).
Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, 4 tahun setelah Soeharto berada di kursi kepresidenan. Yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan satu partai, seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.  
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu secara periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Yaitu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen.
Lima kali pemilu tersebut hanya ritual demokrasi tanpa makna dan kehilangan ruh. Baru pada pemilu 1999 setelah UU No. 3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golkar menjadi UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik, kemudian Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), rakyat Indonesia mulai bisa mendapatkan kedaulatannya.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu saat itu adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Selanjutnya pada pemilu 2004 tidak kurang dari 50 partai politik yang tercatat di Departemen Kehakiman dan Hak Acasi Manusia dan diakui keabsahannya sebagai badan hukum, hanya 24 diantaranya ditetapkan sah mengikuti pemilu legislative tahun 2004. Untuk pemilu 2009 dengan telah diperbaharuinya UU No. 2 tahun 1999 menjadi UU No. 2 tahun 2008 kita menyimak dimedia tidak kurang 50 partai dari 64 partai dinyatakan lolos seleksi administrasi yang selanjutnya KPU pusat akan melakukan verifikasi faktual ditambah 7 partai yang saat ini memiliki posisi di DPR.
Khususnya bagi Aceh dengan ditanda tangani perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM melalui MoU Helsinki yang selanjut telah disahkannya UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakomodir pembentukan partai politik lokal. Maka peserta pemilu di Aceh akan semakin ramai. Berdasarkan seleksi administrasi yang dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM telah meloloskan 12 partai politik local untuk ikut dalam pesta demokrasi pada pemilu 2009. Maka bagi Aceh diprediksi sekitar 49 partai politik (local dan nasional) sebagai kontestan pemilu 2009. Dengan adanya partai yang sangat variatif tersebut juga mengandung potensi konflik antar pendukung partai yang sering memaksakan kehendak dengan jalan kotor, misal, teror maupun kekerasan fisik.
Maka perlu komitemen kita semua untuk memperkuat kualitas demokrasi. Ukuran kualitas demokrasi itu dapat dilihat dari penyelenggara yang berkualitas, para kontenstan (peserta) pemilu yang sportif dan mampu menseleksi calon pemimpin yang berkualitas baik untuk legislatif mapun eksekutif. Terakhir parsipasi aktif pemilih yang mampu bersikap kritis terhadap calon pemimpin yang akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun mendatang.
Realitas rersebut adalah sebuah tantangan dalam pemilu 2009 khususnya bagi KIP Aceh selaku penyelenggara pemilu untuk melakukan tugasnya secara independen sesuai dengan harapan semua pihak. Tugas-tugas KIP akan semakin berat mengingat waktu yang singkat dengan jumlah partai yang banyak untuk melakukan verifikasi dan penyeleksian calon wakil rakyat kedepan yang diusung oleh masing-masing partai yang sangat beragam. Pada sisi yang lain tatangan yang tidak bisa dikesampingkan adalah melakukan sosialisasi pemilu yang waktunya sudah sangat sempit mengingat pemilu 2009 tinggal beberapa bulan lagi. Sosialisasi memiliki fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik dikalangan mesyarakat atau melatih rakyat untuk melaksanakan peran-peran politik. Semakin tinggi partipasi masyarakat dalam pemilu akan semakin kuat legitimasi pemerintah untuk mengimplementasi kebijakan yang telah dirumuskan. Sebaliknya rendahnya partisipasi masyarakat akan sangat mengganggu inplementasi setiap keputusan yang telah dirumuskan.
Pemilu 2009 bagi masyarakat Aceh sangat menggairahkan. Ini merupakan gerak sejarah republik ini dan momentum perubahan yang mengarah pada persamaan politik, sosial, ekonomi yang lebih merata, termasuk perluasan peran serta politik dalam masyarakat dan Negara. Disinilah dibutuhkan komitmen, integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas dari orang-orang yang akan duduk dalam lembaga KIP kedepan diseluruh Kabupaten /Kota di Aceh. Disamping itu juga dibutuhkan pengetahuan, pengalaman dan kemauan yang kuat untuk memperkuat kualitas demokrasi di Aceh. Kepada DPR Kabupaten/Kota untuk dapat melihat dan menetapkan orang-orang betul-betul memiliki integritas dan komitmen dalam meperkuat kualitas demokrasi di Aceh. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar