Senin, 13 Juni 2011

Teori Prilaku Konsumen Dalam Rumus Maqahsidul Syari’ah

Oleh: Muhammad Dayyan

Secara naluriah manusia cendrung serakah dan egois dengan mementingkan kepuasan dirinya dan bersifat boros meskipun kadangkala tetangganya dalam kondisi lapar. Sifat serakah manusia dapat mendorong perbuatan tak terpuji misalnya, penimbunan barang untuk menciptakan kelangkaan sehingga harga melonjak. Jelas ini menyakiti sesama. Untuk mendapatkan emas segudang manusia akan melakukan apa saja untuk memperoleh dua gudang dan begitu seterusnya. Prilaku ini sering menimbulkan pertentangan antar manusia untuk meraih keinginan dan memaksimalkan kepuasannya. Pertentangan tersebut tidak jarang diapresiasikan dalam bentuk kekerasan baik secara fisik maupun psykis bahkan nyawa menjadi taruhannya. Ini bisa kita saksikan dalam dunia bisnis maupun politik demi mendapatkan keuntungan materil kadangkala manusia kehilangan fitrah kemanusiaannya.


Allah telah mengilhamkan kebaikan dan kejahatan, kebaikan adalah keridhaan-Nya dan kejahatan adalah kemurkaan-Nya. Maka diperlukan tuntunan berupa Syari’at untuk mengambil kebaikan dan membuang kejahatan. Allah juga tidak membebani manusi diluar kesanggupannya (QS. 7 ayat: 157). Rasul juga mengatakan ”agama itu yang paling dicintai Allah adalah yang ta’at dan toleran”.

Prinsip yang sama berlaku bagi kegiatan ekonomi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Yaitu dengan bekerja dengan sarana yang bisa mempermudah dan sah dan tidak mengambil sarana yang dapat mempersulitnya. Manusia diwajibkan mengatasi rasa lapar dan haus dengan makanan yang halal dan tidak memakan yang haram kecuali dalam kondisi darurat. Contohnya, dibolehkan memakan yang haram seperti bangkai atau daging yang tidak disembelih dengan nama Allah, Hal ini sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh ”kebutuhan yang darurat membuat hal yang dilarang dibolehkan”. Contoh lainnya dalam ekonomi para terhutang yang tidak mencukupi keuangannya dapat membayar dengan dicicil (QS:2 ayat,280). Kondisi darurat yang membolehkan sesuatu yang dilarang dibatasi oleh waktu yang mendesaknya kebutuhan yang harus dipenuhi.

Aktifitas ekonomi bagi seorang individu muslim adalah bertujuan memelihara kemaslahatan (kesejahteraan) sebagai tugas manusia untuk mencari keuntungan. Maka seluruh kegiatan ekonomi berupa; produksi, konsumsi, dan distibusinya harus mengacu pada ketentuan tujuan syari’ah yang memenuhi kemaslahatan dunia akhirat. Problem ekonomi masyarakat kapitalis yang menggunakan pendekatan pemenuhan keinginan yang tidak terbatas dari sumberdaya yang terbatas dianggap telah gagal menyelesaikan problem masyarakat tradisional yang marginal. Paradigma tersebut berdampak pada langkanya sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lain dari pemenuhan kepuasan dan keinginan masyarakat lainnya. Dari adanya keinginan yang tidak terbatas yang berhadapan dengan kebutuhan yang terbatas maka pemecahan ekonomi konvensional dengan memakai prinsip efisiensi atau bertindak ekonomis. Kepuasan terhadap keinginan disebut pula utility yaitu kemampuan suatu barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Inilah yang menjadi motif aktifitas ekonomi kaum sekuler.

Dalam ekonomi Islam ini tidak dapat dijadikan prinsip dasar. Islam mengatur manusia untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, kesenangan sesuai dengan kemaslahatan. Dalam Islam kepuasan dan keinginan itu terbatas sedangkan sumberdaya  kepunyaan Allah itu tidak terbatas (QS. 2 ayat 29). Kemaslahatan itu sendiri merupakan kekuatan barang dan jasa yang dapat memelihara lima unsur dasar bagi tujuan hidup manusia didunia yaitu; jiwa, harta, agama, akal dan nasab serta meliputi perlindungan dan perbaikan terhadap lima elemen dasar tersebut. Maka aktifitas ekonomi dalam produksi, konsumsi, tukar menukar barang dan jasa harus memiliki kekuatan memelihara dan melindungi kelima elemen dasar tersebut.

Hal ini sesuai dengan rumus Maqasidul Shari’ah (tujuan syari’at) yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Maslahah mengandung  arti manfaat, kesejahteraan, keuntungan dengan maksud tersebut pula Allah menetapkan Syari’atnya. Tujuan dari Syari’at itu senderi adalah pencapaian kebaikan, kesejehteraan, keuntungan, manfa’at, dan menjauhi kejahatan, kerusakan, kerugian bagi umat manusia, yang mencakup kehidupan dunia dan akhirat. Konsekwensinya adalah manusia  berkewajiban  berusaha mengambil sarana guna menghasilkan keuntungan, kebaikan dan menolak sarana yang dapat mengakibatkan pada kejahatan, kerusakan dan kerugian. Inilah filosofi dibalik perintah Allah kepada hamba untuk mengabdi kepada-Nya. Yaitu tercapainya kesejahteraan umat manusia.

Klasifikasi Maqasidul Syari’ah meliputi; pertama, Daruriah, yaitu kebutuhan mendasar yang wajib dilaksanakan dan dipenuhi guna mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat, karena adanya menjadi pokok kebutuhan untuk menegakkan kemaslahatan manusia,  jika kewajiban ini diabaikan dapat mengakibatkan kekacauan, kerusakan di dunia dan kerugian di akhirat. Kewajiban tersebut meliputi, melihara eksistensi Agama melalui merawat eksistensi Iman dengan menunaikan shalat, zakat, puasa dan haji, yang merupakan unsur terpenting bagi eksistensi agama, kemudian melindungi jiwa, keturunan, melindungi harta, dan melindungi akal. Hal ini sama wajibnya bagi tersedianya air, pakaian, rumah dan sebagainya.

Kedua, hajjiah, diperlukan manusia dengan maksud pemenuhan dan mempermudah tercapainya kemaslahatan hidup, dan menanggulangi kesulitan. Hal ini dapat pula dikatakan sebagai pelengkap bagi segala kemudahan hidup seperti dibolehkannya berburu, memamfaatkan barang halal sebagai makanan. Disamping itu diizinkannya qirad (profit sharing melalui pinjaman), musaqat (berbagi untung), bai salam (membeli dengan memesan). Maka sebaliknya segala perjanjian yang membingungkan, meragukan dan segala yang bersifat eksploitatif merupakan larangan yang harus ditingkalkan. Ketiga tahsiniyyah, yaitu perbuatan yang dapat memperindah, suasana yang nyaman dimana syari’ah menjamin bagi pemamfa’atan keindahan dan kenyamanan. Contoh dibolehkannya menggunakan benda-benda yang indah, nyaman; makan makanan yang lezat, minuman juice yang dingin dan memakai pakaian yang halus.

Hubungan ketiga kebutuhan tersebut adalah tahsiniyyah merupakan komplemen dari hajiyyah dan hajiyyah merupakan konplemen dari daruriyyah. Dimana sifat dasar komplemen merupakan pelengkap terhadap kebutuhan dasar. Sesuatu yang konplemen tidak dapat mengeliminir yang pokok. Prinsipnya syari’at menyuruh pada kebaikan dan melarang kejahatan serta memberi apresiasi terhadap kemudahan dan membuang kesulitan.

Tujuan syari’ah bersifat abadi yang ditetapkan oleh Allah  yang tidak terbatas pada perorangan dan kelompok manusia yang meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Maka tidak boleh mengambil keuntungan dunia dengan mengorbankan keuntungan akhirat. Dalam kegiatan ekonomi memiliki konsekwensi untuk meletakkan perioritas kepentingan akhirat, misal syari’at melarang memamfa’atkan  barang tertentu walaupun barang tersebut dapat memajukan perekonomian.
Untuk dapat menginplementasikan konsepsi tersebut dibutuhkan institusi kerja ekonomi untuk memandu prilaku konsumen dan memonitor beberapa aspek yang tidak lazim dari prilaku yang merugikan (mafasid) sehingga individu dan sosial tidak menyimpang dari tujuan syari’ah. Intitusi kerja ekonomi bertujuan: pertama, terbangunnya intitusi sosial sebagai sarana pendidikan, pelatihan syari’ah bagi masyarakat secara memadai, sehingga masyarakat terlatih untuk menahan diri terhadap kecendrungan dari prinsip-prinsip Islam. Dengan kuatnya institusi sosial sekaligus dapat memenuhi kewajiban sosial  dalam amar ma’ruf nahyi mungkar.

Kedua, dapat memastikan tidak adanya pelanggaran aktifitas yang membuat kerusakan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Ketiga, melakukan intervensi terhadap tindakan konsumsi barang-barang haram secara terbuka, aktifitas konsumsi yang berlebihan yang dapat menyebabkan kesenjangan, kecemburuan sosial, permborosan dan prilaku-prilaku serakah yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan daruriyyah sebagian masyarakat, serta prilaku lainnya yang menyimpang dari prinsip Islam.  

Dalam ekonomi konvensional keinginan muncul dari instink manusia, hal ini menjadi konsep bebas nilai. Maka Islam menekankan keinginan itu ditentukan oleh kemaslahatan yang merupakan tujuan syari’ah. Maslahah lebih bersifat objektif tidak sepertinya halnya utility yang sangat subjektif,  konsep maslahah tidak samar-samar dan memiliki keunggulan sebagai berikut; pertama, subjektifitas maslahah bagi individu dalam menentukan kriteria yang baik bagi dirinya ditentukan oleh kemaslahatan sebagai tujuan syari’ah. Kedua,  maslahah individu harus memperhatikan kemaslahatan sosial. Ketiga, konsep maslahah ditetapkan pada semua aktifitas ekonomi mulai dari produksi, konsumsi dan tukar menukar barang.

Maliki Abu Ishaq al-Syatibi membuat rumusan teori prilaku konsumen muslim berdasarkan maqashidul shari’ah. Yaitu kelima elemen dasar kemaslahatan dapat dibagi dua kategori yaitu, pertama, memiliki nilai kemaslahatan dunia akhirat, kedua, hanya memiliki nilai kemaslahatan akhirat saja. Maka konsumen muslim harus membuat dua keranjang pilihan. Pertama, berapa banyak dari pemasukannya yang harus dialokasikan untuk keranjang pertama dan kedua. Kedua, bagaimana memilih barang yang beragam dalam mengisi keranjang pertama dan kedua dan menyisakan pendapatan bagi alokasi sosial.

Bagi konsumen sekuler hanya membuat pilihan pertama, mungkin juga mereka memiliki kesadaran sosial dan senang mengeluarkan pendapatannya untuk amal, tetapi kepuasan yang diperoleh sama dengan memperoleh barang yang lain, karena bagi mereka amal termasuk barang keranjang pertama.
Pengenalan terhadap keputusan keranjang pertama dan kedua dapat membantu berbagai kebijakan dan perencanaan, masalah-masalah khusus yang berhubungan dengan pertanggungjawaban sosial, pemerataan pendapatan, tenaga kerja dan sebagainya. Perlindungan hidup tidak dapat disederhanakan dengan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan saja. Tapi sarana untuk terpenuhinya kebutuhan daruriyyah juga harus terpenuhi seperti, fasilitas kesehatan, air bersih, sanitasi yang memadai, demikian halnya perlindungan terhadap kebebasan sosial bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan ilmiah.

Ukuran keranjang konsumsi pertama sekilas akan tampak serupa antara konsumen sekuler dengan konsumen muslim, dimana keduanya mengandung barang yang nilai pokoknya hanya bernilai duniawi. Yang membedakannya adalah yang satu menggunakan konsep maslahah dan yang lainnya menggunakan konsep kepuasan. Secara prinsipil ada dua hal yang membedakannya; pertama, ukuran keranjang dan kedua, kriteria keranjang. Keranjang konsumsi pertama bagi muslim lebih kecil dari pada keranjang konsumsi sekuler. Dari segi konsep kepuasan semua barang memiliki kepuasan, sedangkan pembatas bagi konsumen muslim pada konsep maslahah dimana tidak semua barang mengandung kemaslahatan meskipun mengandung kepuasan. Hal ini dikarenakan maslahah merujuk pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan lebih luas daripada pemenuhan kebutuhan. Islam menekankan pada nilai barakah yang berarti sesuatu yang sedikit tapi mengandung mamfa’at besar.
Kriteria pilihan keranjang konsumsi pertama bagi konsumen muslim adalah; pertama, konsumen mengikuti lexico grafic daruriyyah yang harus melindungi nafs, din, ’aqal, nasab dan mal sesuai urutannya, dimana sumber dana yang dimiliki seseorang pertama kali akan dialokasikan pada kebutuhan yang esensial. Kedua, tidak boros dimana konsumen dapat memenuhi kebutuhannya yang bukan darurah selama tidak ada tetangganya yang belum terpenuhi kebutuhan daruratnya. Maka tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan prilaku konsumen muslim.

Kesimpulannya, pemenuhan kebutuhan lebih baik daripada pemuasan keinginan, karena tujuan seluruh aktifitas ekonomi (produksi, konsumsi dan tukar menukar barang serta jasa) merupakan tugas spiritual keagamaan yang menempatkan tujuan syari’ah (maslahah/kesejahteraan) sebagai tujuan ekonomi sehingga mampu memberi kepuasan lahir bathin dan manfa’at dunia akhirat. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar