Kamis, 02 Juni 2011

Cermin Bening Syari'at Islam (Tanggapan Untuk Mashudi SR)

Oleh Muhammad Dayyan

Membaca opini Mashudi SR (Serambi. 09/01/2008 )- cermin buruk Syariat Islam sebagai catatan enam tahun pelaksanaannya di Aceh––-mengusik batin saya. Seburuk itukah pelaksanaan syariat Islam di Aceh? Menurutnya enam tahun pelaksanaan syariat telah terjebak bahkan menceburkan diri dalam kubangan ibadah mahdhah-fiqhiyah. Sehingga tidak melahirkan kesalehan Tauhid apalagi sosial yang berdampak pada prilaku umat terhadap pembalakan liar hingga pengrusakan lingkungan yang berdampak semakin merosotnya kehidupan dan kesehatan masyarakat. Kepekaan sosial para pemeluk Islam di Aceh makin mengalami erosi yang cukup merisaukan.


Sehingga di akhir tulisannya saudara Mashudi dengan nada menggugat bertanya; masihkah kita pertahankan perjalanan yang tiada memiliki arah yang jelas dan tegas?

Tujuan pelaksanaan syariat telah menjadi absurd, katanya. Lalu haruskah syariat Islam berhenti dari kedudukannya sebagai hukum agama dan berhenti mengontrol masyarakat?

Jika kita menyimpulkan syariat tidak konsisten dan telah gagal untuk meningkatkan kesejahteraan material masyarakat.

Menurut saya kesimpulan ini kurang tepat, karena Alquran berulang-ulang mayakinkan manusia bahwa hukum Tuhan akan menyelamatkan dan mendatangkan kebahagiaan dunia akhirat. Masyarakat Islam tetap harus diorganisir dengan baik dan syariat adalah faktor pokok yang akan memberi bentuk masyarakat. Syariat adalah tatanan bagi manusia dan berusaha mereformasi sistim masyarakat melalui kontrol hukum Islam. Masyarakat harus mentaatinya demi kepentingan terjaminnya kesehteraan mereka sendiri.

Perlu kita ingat bahwa syariat adalah pola hidup yang lengkap mencakup semua perintah sosial yang jangkauannya tidak hanya dunia saja. Syariat membicarakan semua aspek kehidupan dan memberi arah kehidupan. Jadi syariah merupakan kesatuan organik yang masing-masing bagian tidak bisa dipisahkan (kaffah). Untuk memfungsikan dengan berhasil maka seluruh pola Syariah harus diterapkan kedalam kehidupan manusia. Disinilah dilemanya sekarang kita bersyariat tidak lagi mengikuti perintah Tuhan dan Rasul (Quran dan Hadis). Tapi mengikuti perintah UU No. 44/1999 dan UU No.11/2006. Ada yang boleh dijalankan ada yang tidak boleh sesuai perintah UU.

Maka tidak bisa diukur kegagalan atau keberhasilan dengan hanya mengambil sebagian dari syariat atau beberapa keputusan dengan mengesampingkan yang lain. Pun demikian menurut hasil dialog saya dengan beberapa masyarakat di kampung enam tahun pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah banyak memberi dampak positif dan manfaat bagi masyarakat khususnya terkait dengan massifnya budaya pergaulan bebas yang mengarah pada free sex. Kalau sebelumnya orang tua sangat khawatir dengan keberadaan anaknya––-laki-laki maupun perempuan––-khususnya yang melanjutkan kuliah dikota-kota di Aceh. Dengan adanya pelaksanaan syariat Islam mereka merasa sedikit lega karena Negara telah ikut bertanggungjawab mengawasi prilaku pergaulan bebas anak muda.

Kita sayangkan memang pemerintah Aceh belum bisa menerapkan syariah secara keseluruhan, tapi hanya menerapkan sebagian kecil saja sambil mengharapkan––tertmasuk kita––mamfaat secara keseluruhan. Menurut Dr. Muslehuddin , MA dalam bukunya Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, syariat merupakan sistim ketuhanan yang dinobatkan untuk menuntun umat manusia menuju kejalan damai didunia dan bahagia diakhirat. Hukum syariat adalah pernyataan sifat Tuhan dan usaha untuk menegakkan perdamaian dimuka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Perintah dan keadilan merupakan tujuan mendasar. Perintah tanpa keadilan membuat hukum menjadi kejam.

Maka patut kita bertanya sudahkah keadilan didapatkan oleh masyarakat Aceh dengan adanya pelaksanaan syariat Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini patut juga kita lihat keadilan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam QS: 4;58 Allah berfirman; Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, sehingga jika kamu menetatapkan hokum diantara manusia maka tetapkanlah dengan adil . Dalam QS: 4;105 juga disebutkan, Sungguh Kami telah menurunkan Kitab (Quran) kepadamu secara hak, agar kamu mengadili antar sesama manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, janganlah menentang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang yang berkhianat .

Keadilan juga dapat kita pahami melalui kebalikannya Zulm (dzalim) adalah kebalikan dari adil.
Pelanggaran (QS: 2;59), dengan pengertian tidak adil (QS: 4;64), salah (QS 42;41), dengan pengertian dosa (QS: 10;64). Maka keadilan juga kebaikan yang tidak mengandung pelanggaran, kekejaman, kesalahan maupun dosa. Menurut Prof. Dr. Syahrizal Guru Besar Hukum Islam IAIN Ar-Raniry pemerintah berusaha memberi keadilan bagi masyarakat dalam konteks syariat Islam di Aceh baru merujuk pada peraturan Sadd Azd-Zariaah (menutup pintu keburukan/maksiat) berupa tindakan pencegahan untuk membasmi maksiat sebelum berakar.

Menerutnya peraturan ini memainkan bagian penting dalam memberikan kebaikan dengan menghancurkan sifat buruk, mengganyang kejahatan dan menyingkirkan faktor-faktor yang menyebabkan maksiat muncul. Misal, qanun yang melarang khalwat sebagai upaya menutup jalan/pintu menuju terjadinya zina. Dalam beberapa dialog penulis dengan masyarakat juga menyatakan, qanun ini telah memberi pengaruh positif dalam menekan maksiat ditengah masyarakat. Meskipun harus diakui masih belum berjalan dengan efektif diseluruh Aceh.

Menurut saya tidaklah sepenuhnya benar pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah banyak mempertontonkan keanehan, seperti yang diopinikan oleh Mashudi. Tidaklah benar dengan adanya pelaksanaan syariat Islam masyarakat Aceh semakin tidak cerdas dalam beragama. Semakin tumpul kesadaraan kemanusiaannya, maraknya penebangan liar, pengrusakan lingkungan. Sesungguhnya semua itu lebih karena faktor lain yang sudah lama berlangsung oleh mafia yang dari luar Aceh jauh sebelum syariat Islam diberlakukan. Masyarakat Aceh hanyalah korban dari kerakusan orang luar Aceh. Bahkan sebaliknya dengan adanya syariat Islamlah prilaku buruk masyarakat bisa di tekan.

Syariat Islam tidak untuk menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri. Hukum syariat sejatinya memainkan perannya dalam mendamaikan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat. Syariat Islam memiliki karakter kewajiban agama untuk dipenuhi oleh orang beriman. Syariat Islam tetap menjadi cermin yang bening meskipun tidak seorangpun melaksanakannya. Meskipun diluar wilayah Islam, orang beriman diikat oleh hukum untuk menjamin keharmonisan dalam masyarakat. Syariat Islam memberi dua tanggung jawab kepada manusia. Tanggung jawab dalam hubungannya dengan Tuhan dan tanggungjawab dalam hubungannya dengan masyarakat dalam bentuk hukum yang akan ada sanksi dari pemerintah bagi yang melanggarnya. Syariat Islam tetap berisi ketentuan hukuman bagi tindak kejahatan besar seperti pembunuhan, penganiayaan, perzinahan, pencurian/korupsi, perampokan, fitnah, minuman keras. Sejauh ini syariat Islam di Aceh masih lebih banyak bersifat korektif, edukatif dan persuasif.

Sesungguhnya syariat Islam telah terbukti membawa perubahan besar dalam sejarah masyarakat (baca; Sejarah Hukum Islam) dengan cara membangunnya diatas kebajikan. saling tolong menolonglah dalam kebajikan dan kesalehan, tetapi jangan tolong menolong dalam dosa dan kejahatan merupakan panggilan untuk seluruh ummat manusia (QS: 2;177).
Wallahualam.

Opini Serambi Indonesia
Tanggal 13/01/2008 13:13 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar