Sabtu, 11 Juni 2011

Paradigma Tauhid

Oleh: Muhammad Dayyan 
“Paradigma Tauhid memiliki implikasi yang jauh dalam aspek sosial dengan menolak taghut(segala sesuatu yang melewati batas) dan mendorong pada tatanan sosial yang egalitarian (persamaan hak dan kewajiban)

ETIKA dan moral makin merosot. Kesenjangan sosial, ekonomi telah melahirkan sejumlah prilaku kriminal. Pertarungan politik merebut kekuasaan sarat tindakan banal yang saling menjatuhkan dan memuji diri (narsisme). Birokrasi masih senang dengan perilaku koruptif, kolutif dan nepotisme yang terdengar dan terbaca di media masa. Kekerasan orangtua terhadap anak, perlakuan guru yang tidak pantas terhadap siswa atau sebaliknya, sikap murid kepada gurunya. Ini merupakan energi negatif yang memicu pada kecenderungan memaksakan kehendak pribadi secara berlebihan yang merendahkan martabat kemanusian.


Dalam pelajaran sejarah maupun tutur para pendahulu, konon Aceh sejak dulu dikenal sebagai masyarakat yang Islami beretika, beradat-budaya yang luhur. Namun kenapa sekarang sudah terkikis? Mengapa sikap kekanak-kanakan (childish), bertindak berlebihan (over reactive) mementing diri sendiri (selfishness) lebih senang dipertontonkan? Adakah sesuatu yang keliru dalam penerapan kaidah kehidupan kita?

Itulah yang sekarang perlu direnung dan dicari jalan keluarnya jika semua memiliki keyakinan untuk maju. Sebab jika seluruh komponen anak bangsa, khususnya pemimpin mampu bersikap dewasa, mencari solusi, semua tindak laku negatif itu tidak ada. Niscaya torehan sejarah perjalanan masyarakat Aceh akan berbeda. Karenanya selayaknya seluruh komponen masyarakat merenung dan merefleksikan tentang jadi diri kemanusiaan kita untuk menyamakan persepsi dengan menggali energi positif.

Sebagai masyarakat yang meyakini Islam adalah cara hidup, tidak boleh larut dalam pesimisme, kesedihan, atau bahkan amarah. Sebab permasalahan tidak pernah selesai melalui kata-kata pedas yang dilontarkan atau aksi saling menyakiti. Islam menekankan seseorang hidup dengan nilai-nilai kedewasaan, sportif, tentu sangat indah, sehingga apa pun yang dilakukan akan berada dalam kaidah kebenaran.

Hakikatnya kedewasaan akan melahirkan kebenaran. Itulah energi positif, kata filosof. Kini, tinggal bagaimana kemampuan seluruh masyarakat dan komponen bangsa untuk bersatu menyatukan potensi menggali kembali anugrah Tuhan.

Islam mengandung spirit untuk terus membangun peradaban masyarakat yang madani. Atas landasan teologis Islam yang bermakna semua aktifitas harus berorientasi pada satu titik Tauhid sebagaimana rumusan kalimat syahadat.
“Tiada tuhan selain Allah” mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian.

Peniadaan bermakna membebaskan diri dari belenggu kesyirikan atau ketergantungan pada ilah (memperhambakan) yang dapat menjadikan manusia terperangkap dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Kesyirikan menjadi pangkal kejahatan, baik secara kultural (ingin menang sendiri, merampok, zina, mencuri, menipu) maupun secara strutural (otoriter, korupsi, penyalahgunaan wewenang, mengabaikan amanah dan merendahkan orang lain).

Lalu, pengecualian bermakna penegasan pada Tuhan yang Esa (Allah) dimaksudkan agar manusia hanya tunduk dan pasrah pada Allah. Maka seluruh ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai hanya berdasarkan ketentuan Allah Pencipta segala yang ada. Konsekwensi logis dari paradigma Tauhid melahirkan sikap yang optimis, kritis, santun, amanah, humanis dan proaktif melaksanakan amar makruf nahy mungkar.

Pembebasan utama dari paradigma tauhid adalah unsur-unsur mitologis, yaitu kepercayaan pada wujud-wujud lain yang dianggap bersifat ilahi yang lebih rendah dari Allah sendiri. Di sini terlihat bahwa problem utama manusia bukan ateis (tidak percaya ada tuhan) tapi politeisme (percaya pada banyak tuhan). Sebab hakikat ateisme itu sendiri adalah politeisme, walaupun dalam pengakuannya ateis, tapi dalam prakteknya mengambil yang lain sebagai
“tuhan”. Itulah sebabnya program utama Alquran adalah membebaskan manusia dari belenggu paham tuhan yang banyak serta belenggu tirani menuhankan diri sendiri atau memutlakkan pandangan dan pikiran sendiri dengan menolak kebenaran dari orang lain.

Implikasi dari bertauhid adalah menjadikan kita sebagai manusia terbuka, kritis terhadap masalah-masalah Kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. Sikap tanggap itu dilakukan dengan kesadaran akan tanggungjawabnya atas segala pandangan dan tingkah laku serta kegiatan dalam hidup ini yang muncul dari rasa keadilan dan perbuatan positif pada sesama manusia.
“Paradigma Tauhid memiliki implikasi yang jauh dalam aspek sosial dengan menolak taghut(segala sesuatu yang melewati batas) dan mendorong pada tatanan sosial yang egalitarian (persamaan hak dan kewajiban),” kata Prof. Nurchalis Madjid.

Dalam kontek itu kita dituntut tanggungjawab membangun sistim kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, yang memungkinkan masing-masing anggota masyarakat saling memperingatkan tentang kebenaran dan kebaikan, dan tentang ketabahan dan kesabaran. Jelas orang yang mengaku muslim tidak saling menjatuhkan, menjelekkan (black campain) apa lagi saling menginjak. Dalam konteks politik kita telah memilih sistem demokrasi sebagai media mengaktulisasikan potensi kemanusiaan kita untuk menjalankan amanah kepemimpinan harus terus dikawal dan terus diperkuat kualitasnya. Artinya tidak hanya berhenti pada demokrasi prosedural (pemilu) tapi terus didorong pada demokrasi yang berlaku secara kultural (sistim kehidupan yang menjamin setiap individu dapat mengaktulisasikan potensi kemanusiaannya dan bebas dari kezaliman) dengan menjadikan tauhid sebagai paradigma aktifitas politik. Sehingga dapat berkembang ke arah keadilan ekonomi yang meningkatkan kemakmuran rakyat.

Menarik apa yang dikutip Dibyo Soemantri dari karya Dr Dino Patti Djalal dalam bukunya bertajuk Harus Bisa mengingatkan kita semua bahwa seluruh bangsa di dunia
––tidak peduli bangsa yang telah berusia ribuan tahun atau baru lahir––memiliki energi positif dan negatif. Dan, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki energi positifnya lebih besar dari energi negatif.

Energi negatif adalah aura buruk, gelap, penuh kebencian, negativisme, pemaksaan kehendak, arogansi, iri, dengki, ekstremisme, koruptif, dan paranoid. Sebaliknya, energi positif adalah energi yang memancarkan aura sehat dan terang; positivisme, optimisme, idealisme, menghargai pendapat orang, gotong-royong, altruisme, good governance, humanisme, sportif, toleransi, harmoni, santun, dan beberapa sifat lainnya.

Kita meyakini bahwa ketauhidan adalah sumber energi positif yang melahirkan kebenaran yang dapat dipancarkan dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan menjadikan tauhid sebagai landasan dan paradigma kita haqqul yaqin energi positif akan senantiasa terpancar sehingga bangsa ini lebih cepat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang dewasa, bermartabat, dan bertanggungjawab. Semoga!


Opini Serambi Indonesia
Tanggal 06/03/2009 11:31 WIB

1 komentar:

  1. Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
    Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...




    BalasHapus