Minggu, 05 Juni 2011

Teologi Bisnis

Oleh Muhammad Dayyan


AKTIFITAS kita kehilangan orientasi masa depan (ukhrawi), maka sering terjebak perangkap materialisme. Kita cenderung memburu keuntungan materi dan mencampakkan spiritual. Melakukan seuatu jika ada keuntungan, sehingga pamrih telah melunturkan kebajikan. Semua ini karena kehilangan paradigma teologi.


Senang mencari untung dengan menipu, dan menzalimi pihak lain. Para petani terus hidup miskin meskipun mereka telah bekerja keras mengolah, merawat dan memanen hasil pertaniannya. Sumberdaya alam dikeruk namun masyarakat sering hanya kecipratan limbahnya saja. Kita menyaksikan sejak dulu, Aceh menjadi incaran banyak saudagar hingga eropa menguasai sumber-sumber ekonomi. Ironinya kawasan dengan sumberdaya ekonomi yang kaya, kesenjangan sosial yang menyedihkan telah berlangsung lama. Kenyataan sampai saat ini masih banyak masyarakat yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan yang bekualitas masih milik orang-orang tertentu. Kaum hu’afa masih harus bersabar hidup di gubuk reot tak layak huni. Pedagang kecil sering digusur tanpa konpensasi yang layak.

Sekarang, kabarnya pemerintah sedang berusaha keras menarik para investor. Ada sejumlah potensi ekonomi Aceh yang akan dikembangkan. Namun tampaknya, pemerintah lupa boleh jadi ragu atas kemampuan rakyatnya, sehingga harus mengejar investor asing. Investor masih enggan, konon terkait dengan berbagai peraturan yang belum berpihak pada saudagar asing itu. Di sini kita perlu mempertanyakan komitmen pemerintah dan legislatif dalam mensejahterakan rakyat. Sebab anggaran belanja daerah Aceh terus naik namun daya serapnya sangat lemah. Sehingga setiap akhir tahun harus dikembalikan ke pusat.

Pemerintah Aceh memang masih sulit membelanjakan anggarannya bagi kemakmuran rakyat selama masih banyak manusia rakus yang mengelola anggaran. Faktanya pembangunan infrastruktur untuk kelancaran ekonomi rakyat masih saja dikeroyok untuk kekayaan segelintir orang. Untuk meraih kemuliaan dunia dengan pangkat, jabatan dan kekayaan manusia telah melupakan ajaran hidup untuk meraih kemuliaan di akhirat. Betapa banyak di antara kita yang merasa nyaman untuk melakukan tindakan tercela dengan korupsi, sogok, menipu, mengurangi timbangan, memalsukan barang/dokumen untuk menumpuk kekayaan. Orang-orang kaya menghamburkan uang ditengah orang miskin yang sudah hampir makan tanah.

Kita cenderung menghitung keuntungan dalam bentuk materi saja (tangeble) dan menafikan keuntungan non materil (intangeble). Kecenderungan ini telah mengelincirkan manusia dalam jurang keserakahan, kekikiran, kebakhilan yang berujung pada kekufuran. Kesadaran transendental sangat rendah dalam menjalani aktifitas hidup. Sehingga untuk melipatgandakan keuntungan sering menzalimi pihak lain. Orientasi pekerjaan untuk meraih keuntungan sering dihitung menurut selera hawa nafsu. Kita sering mengabaikan dan melupakan janji Allah yang menyediakan keuntungan sekaligus keberuntungan dan kemenangan (falah) dunia akhirat.

Hidup ibarat bisnis. Selalu berhadapan dengan untung dan rugi. Naluri manusia senantiasa mengejar keuntungan dalam hidupnya dan menolak kerugian. Namun tidak sedikit manusia salah menafsirkan keuntungan dalam bentuk materi saja sehingga terperangkap dalam kerugian. Sebagaimana Allah swt bersumpah dalam QS. Al-’Ashry ayat 1-3 “Demi masa. Sungguh manusia selalu dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan. Mereka senantiasa saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran”. Hakikat hidup adalah bisnis untuk meraih untung yang selalu mengandung resiko rugi. Bagi yang melakukan pekerjaan kebaikan akan memperoleh keberuntungan dan yang melakukan pekerjaan jahat akan memperoleh ganjaran kerugian dan kekalahan.

Kita perlu menggali potensi modal non materi lebih banyak lagi unutk keluar dari kemelut kemeralartan. Kejujuran, ukhuwah, amanah, bertanggung jawab, pantang menyerah dan kedermawanan merupakan modal non materi. Allah menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda bagi yang siapa yang menjalankan bisnis dengan etos kerja yang jujur. Kalau kita lihat dalam paradigma bisnis sesungguhnya hubungan timbal balik Tuhan dan manusia adalah bersifat perdagangan. Allah adalah saudagar sempurna. Ia memasukkan seluruh partikel dalam jagat raya alam semesta dalam pembukuannya. Tidak ada yang luput dalam perhitungannya. Tiap barang diukur, ia membuat buku perhitungan, neraca-neraca dan Ia mengajarkan sekaligus mengutus Rasul-Nya untuk menjadi teladan buat bisnis-bisnis yang jujur.

Sungguh Allah adalah saudagar yang Mahasantun. Ia hapuskan hutang-hutang tertentu hamba-Nya, sebab Ia bukanlah penghutang yang tidak berbelas kasihan. Orang Islam menghutang kepada Allah, ia membayar lebih dahulu dengan surga. Ia menjual jiwanya kepada-Nya dan itu adalah suatu tindakan yang menguntungkan.

Orang yang tak percaya telah menjual kebenaran Ilahi dengan harga yang menyedihkan, sungguh ia bangkrut. Seluruh jiwa telah ditahan sebagai jaminan bagi hutang yang telah dibuatnya. Pada hari kebangkitan, Allah mengadakan perhitungan terakhir dengan umat manusia. Segala tindakannya telah dicatat dalam buku perhitungan; tindakan-tindakan tersebut seluruhnya ditimbang pada neraca. Kepada tiap orang dibayar persis jumlah simpanannya, tak seorangpun tertipu. Orang Islam (kepada siapa orang yang telah membayar berlipat ganda bagi perbuatan baiknya) menerima tambahan suatu hadiah istimewa.

Kemampuan dagang para penyebar Islam ke nusantara telah membuktikan kemenangan itu. Mereka berdakwah dengan menunjukkan kemampuan dagangnya yang jujur dan terpercaya. Sejatinya kita kembali pada fitrah, yaitu hidup sesuai ajaran Tuhan. Maka biayalah proyek-proyek pembangunan disegala bidang dengan jujur. Masyarakat muslim yang kaya bantulah komunitas muslim yang masih kekurangan modal dalam menjalankan proyek-proyek keIslamannya. Semoga pasca ramadhan pemerintah dan masyarakat muslim Aceh mampu menunjukkan karakteristik kualitas taqwanya dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu’alam.
Opini Serambi Indonesia
Published on Mon, Sep 28th 2009, 08:50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar