Kamis, 26 Mei 2011

Reaktualisasi Lembaga Keuangan Mikro Islami

Oleh: Muhammad Dayyan

Ekonomi kita benar-benar dilematis. Satu sisi memiliki sejumlah potensi besar namun rendah sumberdaya pengelolaannya. Gilirannya masyarakat sulit mendapatkan akses modal ekonomi. Inilah persoalan
ekonomi kita. Sistim keuangan yang ada saat ini masih menempatkan kaum miskin sebagai kelompok yang tidak layak memperoleh pinjaman dalam memenuhi kebutuhan dana dan modal yang mendesak. Sementara kaum kaya dengan mudah bisa memenuhi dan memperoleh dana. Untuk itulah LKM Islami harus hadir untuk mengantarkan ”kebutuhan kronis” kelompok miskin terhadap modal.

Lembaga penguatan ekonomi masyarakat selama ini belum dapat sepenuhnya mengadopsi sistim lembaga keuangan mikro (LKM) Islami dalam programnya. Tentu ini hal ironis berkiat konteks Aceh yang menerapkan syariat Islam, ternyata pelaksanaan ekonomi kita belum bebas riba. Ekonomi kita belum memiliki model untuk diadopsi di Aceh, untuk membebaskan masyarakat dari jeratan riba. Meskipun demikian sejumlah LKM yang beroperasi di Aceh telah mengadopsi sistim ekonomi Islami, namun belum ada liputan yang baik dan wilayah operasi yang masih terbatas di samping sejumlah kendala yang masih sulit diatasi.

Edib Smolo menulis dalam artikelnya ”Microcrediting in Islam: Islamic Micro-Financial Institutions”, bahwa kebanyakan LKM mempunyai karakter non-Islami karena berbasis bunga. LKM yang juga disebut sebagai ”program pembangunan sosial” dianggap sekuler dan bahkan kadang-kadang anti Islam. Edib mengutip Kabir dan Alamgir (2002) yang menemukan fakta bahwa di Bangladesh yang penduduknya mayoritas Islam dan juga basis Islam ternyata LKM konvensional berkembang dengan baik, ini menunjukkan mereka terjebak dalam riba.

Untuk itu, LKM Islami sangat dibutuhkan meskipun masih sulit mencari model yang sudah sukses mempraktikkannya. Selama ini baitul mal dan baitul qiradh di Aceh sudah menjalankan model pembiayaan Islami melalui qardhul hasan, namun masih sangat terbatas. Ironisnya Universitas di Aceh belum ada program studi ekonomi Islam disaat yang sama sejumlah universitas di luar Aceh sudah lebih duluan membuka kajian ekonomi Islam mulai jenjang S1 sampai S3, seperti dilaksanakan di UI, Unibraw, UGM, IPB, Unpad dan lain-lain.

Kita masih sering menyatakan bahwa ekonomi Islam sama saja dengan ekonomi konvensional kalaupun ada perbedaan sangat tipis. Sehingga sistim ekonomi Islam masih menjadi sesuatu yang samar di negeri syariat Islam baik dalam kajian akademik maupun praktik di lapangan. Secara empiris, menurut Edib, yang mengutip penelitian Ahmed (2001) melalui perbandingan tiga lembaga micro finance, menunjukkan bahwa LKM Islami relatif lebih baik bila dibandingkan dengan LKM konvensional yang telah mapan dalam hal probabilitas dan efesiensi. Sehingga diperlukan instrumen keuangan baru, karena instrumen yang ada kurang efisien.

Sesungguhnya LKM Islami memiliki potensi besar. Dan diyakini zakat, sedekah dan wakaf adalah sumber dana alternatif microfinance yang dapat diintegrasikan pada program pemberdayaan ekonomi di Aceh dalam rangka mempercepat pemberantasan kemiskinan. Hukum Islam sendiri memberi ruang untuk inovasi keuangan dan sistim ekonomi Islam menawarkan ruang untuk industri micro-finance. Hal itu dengan penyediaan sejumlah kecil uang, umumnya diperuntukkan bagi keluarga sangat miskin dengan cara-cara keuangan Islami untuk membantu (orang miskin) bisa memulai, mengembangkan dan memelihara bisnis mereka. Ada beberapa perbedaan antara LKM Konvensional dengan LKM Islami.

Pertama, LKM konvensional dalam sistim keuangannya menggunakan bunga. Sedangkan LKM Islami menggunakan beberapa cara seperti ijarah wal istisna, murabahah, musyarakah, mudharabah, bai-salam, bai-muajjal, qardhul hasan dan lain-lain.

Kedua, sumber pendaan LKM Konvensional pada umumnya memperoleh dana dari donor asing, tabungan klien dan dana luar. Sedangkan LKM Islam sebagian dananya bisa bersumber dari lembaga keagamaan berupa waqaf, zakat dan lain-lain. Maka perlu pengembangan sumber-sumber dana agama seperti zakat tunai dan lainnya.

Ketiga, dalam mendanai kelompok miskin LKM Konvensional kadang masih terlupakan. Sedangkan LKM Islam bisa mengintegrasikan dana zakat dan shadaqah dalam bentuk qardhul hasan (cukup mengembalikan pokoknya saja tanpa bagi hasil).

Keempat, jumlah dana untuk penerima manfa’at dalam LKM Konvensional ada potongan sebelum pinjaman diberikan, bunganya dihitung dari jumlah total pinjaman, jumlah bunga untuk LKM miningkat, dan ada resiko untuk keperluan non produktif. Sedangkan LKM Islam tidak ada potongan, total pinjaman untuk pembelian barang dan penggunaan untuk keperluan non produktif berkurang.

Kelima, kelompok sasaran dalam LKM Konvensional adalah perempuan untuk pemberdayaan karena perempuan bisa menggunakan dana lebih produktif. Sedangkan LKM Islam sasaran penerima manfaat juga mayoritas perempuan karena lebih menyenangkan dan efisien, mudah ditemui dan bisa hadir dalam setiap pertemuan mingguan.

Keenam, program pembangunan sosial LKM Konvensional menganut sistim sekuler yang menafikan kehidupan religius. Sedangkan LKM Islam sesuai syariat Islam yang mendorong kesejahteraan duniawi seimbang dengan kehidupan kesejahteraan ruhani secara religius-ukhrawi.

Ketujuh, LKM Konvensional uang sebagai motivasi utama untuk memotivasi pegawai. Sedangkan LKM Islam uang dan agama secara seimbang sehingga bekerja adalah bagian dari menjalankan ajaran agama.

Kedelapan, LKM Konvensional tanggungjawab keuangan hanya individu. Sedangkan LKM Islam peminjam dan pasangannya. Kesembilan, bila terjadi kredit macet LKM Konvensional cenderung menekan kelompok dengan ancaman sampai penjualan aset. Sedangkan LKM Islam, anggota kelompok dan LKM membantu membayar dengan semangat persaudaraan.

Meskipun demikian, ada sejumlah tantangan yang masih sulit diatasi oleh LKM Islami yang membuat produk Islami (mudharabah dan musyarakah) kurang begitu populer. Pertama, kurangnya kejujuran dan saling percaya. Kedua, kurang tersedianya dana jangka menengah dan jangka panjang yang diperlukan bagi mudarabah dan musyarakah. Ketiga, keuangan jangka panjang berisiko yang lebih tinggi dan kurangnya personil yang berkualitas untuk menjalankan kegiatan.
Karenanya masih diperlukan kajian dan penelitian agar ditemukan solusi bagaimana mengeluarkan masyarakat dari perangkap kemiskinan material dan spiritualnya. Di sinilah kita berharap peran seluruh stakeholder khususnya akademisi di kampus dan intelektual muslim yang memiliki komitmen terhadap persoalan umat. Kita merindukan Aceh dalam koridor syari’ah, ke depan ekonomi masyarakatnya tidak lagi menganut dan bergantung pada sistim ekonomi ribawi yang kapitalistik. Wallahu’alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar