Senin, 30 Mei 2011

Meraih Ridha Allah sebagai Orientasi Hidup


Oleh Muhammad Dayyan


UNTUK hidup kita butuh pada makanan. Bukan hidup untuk makan. Hidup untuk beribadah meraih ridha Allah swt. Melaksanakan kewajiban ibadah itulah kita butuh kepada badan yang sehat, pakaian yang bisa menutup aurat, dan tempat tinggal yang nyaman. Di sinilah kita diwajibkan berusaha guna memenuhi kebutuhan hidup. Kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup telah menggerakkan manusia setiap saat untuk melakukan produktifitas. Sekarang mari bertanya, apakah orientasi kerja sudah sesuai dengan tujuan hidup?


Sebab dalam kehidupan sering ditemukan sejumlah kegiatan manusia yang melenceng dari tujuan hidup itu. Tidak heran banyak pekerjaan yang memproduk barang/jasa yang mengancam keharmonisan umat manusia. Misal, produksi minuman yang memabukkan, narkoba (ektasi, ganja) bahkan senjata yang mematikan. Ada juga yang bekerja dengan profesi yang merugikan manusia lain, misal, perampok, koruptor, penipu, pencuri, pencopet, perdukunan, pembajak, perompak, dan lainnya.

Tidak hanya sampai di situ , kita yang sudah memilih profesi yang benar saja kadangakala masih senang melakukan tindakan yang merampas hak dan merugikan orang lain. Misal, pegawai atau pemerintah yang suka melakukan suap, sogok, korupsi, menyalagunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Demikian juga pedagang yang senang menipu, menimbun barang, monopoli, mengurangi takaran, menjebak pembeli dan lain sebagainya. Para kontraktor yang sering memark-up proyek, menelantarkan pekerjaan. Juga para pimpinan perusahaan yang sering mengabaikan hak-hak pekerja seperti memberi upah di bawah standar, tidak memberi jaminan kesehatan dan lain-lain.

Maka penting bagi kita untuk kembali pada tujuan hidup untuk menggapai ridha Allah swt. Sejatinya kegiatan memenuhi kebutuhan hidup tidak hanya berorientasi pada keinginan manusia. Sungguh suatu celaan jika barang yang diproduksi hanya ditentukan oleh keinginan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh syekh Al-Syaibani (132 - 189 H), pakar ekonomi Islam abad klasik, bahwa kasb merupakan kegiatan memperoleh harta dengan cara yang halal. Dengan demikian tidak dapat dikatakan berproduksi jika menghasilkan barang dan jasa yang haram. Lebih lanjut Syaibani menjelaskan bahwa, nilai guna suatu produksi hanya jika mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Kemasalahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Karim: 2004, hal. 235). Maka motivasi muslim memproduksi dan mengkonsumsi suatu barang dan jasa sejatinya ditentukan oleh tujuan syari’ah (maqashid syari’ah) bukan oleh keinginan subjektif manusia yang cenderung serakah dan tamak.

Produksi merupakan bagian dari kewajiban untuk menciptakan kemakmuran semesta bagi semua makhluk. Jadi kerja merupakan unsur utama produksi yang memiliki kedudukan sangat penting dalam kehidupan sebagai penunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah swt. Karenanya hukum bekerja adalah wajib. Allah berfirman dalam QS. Al-Jum’ah ayat 10 “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Rasul yang mulia juga bersabda “ mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim”.

Jadi jelas sekali bahwa orientasi kerja dalam menopang hidup adalah mendapat ridha Allah, bukan untuk kesenangan sesaat, memuaskan nafsu. Kita perlu memenuhi kebutuhan dengan bekerja. Sebab bekerja merupakan usaha mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi, dan distrubusi. Secara makro ekonomi akan berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Maka bekerja dengan berbagai profesi sesungguhnya memiliki derajat yang sangat mulia. Betapa tidak bekerja telah memenuhi hak Allah, hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.

Dalam konteks inilah pemerintah berkewajiban memimpin gerakan produktifitas dan melindungi aktifitas produksi dengan jaminan keamanan dan keadilan bagi setiap orang sesuai dengan maqashid syari’ah. Dari segi hukum al-Syaibani (Karim: 2004, hal. 238), membagi usaha perekonomian menjadi dua, yaitu, fardhu kifayah dan fardhu ‘ain.

Menjadi fardhu kifayah apabila telah ada sebagian orang yang mengusahakan atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan, dan apabila tidak seorangpun yang menjalannya, tatanan roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyak orang yang hidup dalam kesusahan dan kesengsaraan.

Berbagai usaha perekonomian dihukum fardhu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang yang ditanggunnya. Kebutuhan dimaksud adalah makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Jika tanpa terpenuhi kebutuhan ini seorang anak Adam tidak bisa berdiri untuk hidup dan beribadah kepada Allah, maka ia akan masuk neraka.

Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab setiap manusia memiliki kelebihan dan keterbatasan yang berbeda dengan mansia lain. Dalam hal ini kita sangat perlu melakukan kerja sama. Maha kuasa dan Maha adil Allah yang telah memberi kemudahan pada setiap manusia untuk mengusai skill dan pengetahuan yang memungkinkan manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana firman-Nya dalam QS: az-Zukhruf ayat 32 “...dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat...”.

Bagi orang kaya harta menjadi ujian untuk mengelola amanah harta dengan membelanjakan pada jalan Allah. Bagi yang miskin tidak ada kehinaan bahkan merasa telah cukup dan akan mendapatkan kemulian bila bergegas pada kebajikan. Miskin bukan untuk menjadi peminta-minta, bekerja dengan tangan sendiri akan lebih mulia. Orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin, dan orang fakir-miskin membutuhkan kemurahan dan keadilan orang kaya. Kerjasama tolong-menolong meruapakan jalan kemudahan menjalankan aktifitas ibadah kepada Allah. “...dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan...(QS: al-Maidah ayat 2. Rasullah bersabda “sesungguhnya Allah swt selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimknya”. (HR Bukhari-Muslim).

Jadi, jelas hidup bukan untuk makan. Melainkan bekerja baik dalam konteks fardhu kifayah dan fardhu ‘ain mengandung aspek religius untuk beribadah kepada Allah swt sebagai orientasi dan tujuan hidup sekaligus mengandung aspek ekonomi dalam rangka meningkatkan kemakmuran ekonomi bagi suatu bangsa dan negara.·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar