Selasa, 31 Mei 2011

Menyoal Neolibaeralisme

Oleh: Muhammad Dayyan

DISKURSUS ekonomi neoliberal sedang jadi tren menjelang pemilihan presiden tahun 2009 ini. Tampilnya Boediono sebagai cawapres SBY menjadi pemicunya. Sosok Gubernur Bank Indonesia yang pernah menjabat Menko Ekonomi ini diduga berpaham ekonomi neoliberal. Stigma neoliberal yang dikaitkan pada sosok Boediono sempat membuat beberapa partai pendukung SBY mengamcam belalih dukungan. Sebut saja Amin Rais yang menyebut Bodione membawa misi ekonomi neoliberal yang pada akhirnya melunak.


Isu ini menjadi senjata politik. Calon Presiden Jusuf Kalla dalam suatu diskusi bersama mahasiswa menyindir cawapres pilihan SBY, “Kalau pilih orang neoliberal, habislah masa depan bangsa, kita semua tergantung asinglah, kita semua tergantung IMF-lah,” ujarnya (detik.com 19/05/2009). Dalam kampanyenya JK bahkan menegaskan bahwa pilpres 2009 merupakan pertarungan ideologi. “apakah kita mau menjalankan ekonomi yang mendorong kemandirian bangsa atau menjalankan ekonomi bebas” (Serambi 24/05/2009 hal.5)..

Apa neoliberalisme itu? Dalam situs wikipedia disebutkan “Neoliberalisme dikenal sebagai paham ekonomi yang mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur-tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Fokus utama, pada pasar bebas, sedikit pembatasan terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Secara umum neoliberalisme terkait dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO, Bank Dunia dan IMF. Untuk alasan efisiensi korporasi, mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya. Simbol kemajuan masyarakat berdasarkan kapitalisme yang bertumpu pada ajaran John Locke, filsuf abad 18, bahwa kaum liberal adalah orang-orang yg memiliki hak untuk ‘hidup, merdeka, dan sejahtera’.

Adam Smith menjadi “nabi”nya kapitalisme, dengan ajaran ekonominya ‘the wealth of nation (konsep negara sejahtera)” mengajarkan masyarakat untuk bebas dan produktif berdasakan prinsip individualisme. Prinsip ini menghasilkan kedinamisan, kesempatan, dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi menjadi motor pendorong masyarakat bergerak dinamis. Sistim ini pernah mengalami kebangkrutan atau kehancuran Wall Street yang dikenal dengan masa Depresi Hebat atau Great Depretion hingga awal 1970-an. Kegagalan liberalisme melahirkan neoliberalisme yang sedang mengalami krisis ekonomi global.

Gagasan-gagasan neoliberalisme kini menjadi agenda global yang perankan IMF dan World Bank. Lembaga-lembaga ini mendikte Negara berkembang untuk mengurangi intervensi pasar, sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Kekuatan kekuasaan pasar bertumpu pada privatisasi aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah. Yang dikhawatirkan dari neoliberalisme adalah lahirnya kebijakan yang menghapus biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik (pendidikan, kesehatan, air, listrik, bbm) menjadi biaya tinggi. Yang membuat masyarakat miskin terus nestapa.

Akhirnya logika pasar yang berjaya di atas kehidupan publik. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Subsidi dianggap menjadi pemborosan dan inefesiensi. Semua bisa dijadikan komoditi barang jualan bahkan agama sekalipun. Seluruh kehidupan dimodifikasi sebagai sumber keuntungan korperasi. Sebut saja sektor sumber daya air yang seharusnya milik publik, tapi dinilai sebagai barang ekonomis. Maka pengelolaannya dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Padahal ia memiliki dimensi sosial sebagai sumberdaya barang publik yang harus dikuasa oleh Negara untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat. Tapi kemudian direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata.

Konsekwensi logisnya hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Belum lagi sejumlah barang tambang yang saat ini banyak dikuasai asing.

Dalam pemikiran politik semua keputusan dan UU ditentukan oleh pasar dan pengusaha (pemilik modal). Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah. Politik adalah tempat dimana pasar berkuasa yang tidak lain para pemilik modal. Lahirlah sejumlah regulasi yang hanya membela kepentingan pemodal. Dengan alasan globalisasi, perdagangan bebas, perluasan pasar, dan investasi. Inilah yang disebut Neoimperialisme. Agenda pokok menjalankan paket kebijakan IMF dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Menurut situs wikipedia, di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Pelaksanaannya secara massif setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Saat nilai rupiah merosot, Pemerintah Indonesia resmi mengundang IMF sebagai juru selamat krisis ekonomi.

Melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak. Maka terbukalah peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Pada masa pemerintahan Megawati dengan menko ekonominya Budiono membuat kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang. Beberapa asset Negara telah berpindah tangan kepada pihak asing sebagai konsekwensi arus deras perdagangan dan modal.

Isu neoliberal dalam pilpres kali ini mengalahkan isu pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada pilpres 2004. Isu ini sangat menyulitkan Cawapres Partai Demokrat Boediono. Beberapa kali Boediono menampik hal itu. Ia menyatakan, istilah ekonomi neoliberal tidak pernah dikenal di Indonesia. “Kalau kita lihat istilah neoliberal hanyalah label yang tidak jelas kemudian dianggap sebagai musuh. Sedangkan neolib sendiri tidak pernah dilaksanakan di sini (Indonesia),” katanya. Menurutnya, sepanjang pemerintahan SBY-JK, Indonesia tidak pernah menganut sistem ekonomi pasar. Hal itu karena kebijakan pemerintah selama ini menunjukkan peran negara yang cukup besar untuk mengatasi ekonomi rakyat. Misal, program BLT, pendidikan, kesehatan dan biaya operasioanal sekolah. (Kompas 19/5/2009).

Presiden SBY menegaskan, Indonesia tidak menganut sistem ekonomi neoliberalisme seperti yang digemborkan banyak pihak baru-baru ini. Indonesia, kata SBY, juga tidak sepenuhnya mengacu kepada Washington Consensus. “Pemerintah Indonesia masih percaya bahwa perlu campur tangan pemerintah masih diperlukan guna memberikan proteksi kepada yang lemah,”. Jadi pihak-pihak yang menggulirkan isu neoliberalisme dan Washington Consensus masih belum memahami pengertian tersebut dengan benar. “They just don’t understand apa sesungguhnya neoliberalisme dan Washington Consesus” tegas SBY. (Kompas. 20 Mei 2009).

Penjelasan ini berhasil menaklukan partai-partai yang sebelumnya menolak Bodiono sebagai capres kemudian berbalik mendukung SBY-Boediono. Sekrjen PKBLukman Edy, mengatakan, Boediono sudah menjelaskan bagaimana membangun ekonomi kerakyataan di Indonesia secara garis besar. Demikian juga PAN, merasa sudah berhasil menyelesaikan permasalahan internal partainya. Seperti ditegaskan Ketua DPP PAN Patrialis Akbar, bahwa Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PAN Amien Rais sudah melunak setelah SBY menjanjikan sistem ekonomi yang bebas dari model neoliberal meskipun cawapresnya Boediono (Kompas 19/5/2009). Begitu pula PKS, dijelaskan Tifatul sembiring bahwa SBY-Boediono mendukung pengembangan ekonomi Syari’ah. Terbukti UU mengenai surat utang syari’ah justru lahir pada masa Boediono menjabat menko perokonomian Indonesia, jadi PKS ada didalam mengawal itu (Serambi 16/05/2009).

Dalam padangan pakar ekonomi Islam, menganut prinsip pasar bebas dalam frame syari’ah. Ibnu Taimiyah salah satu fuqaha dan pakar ekonomi Islam berpendapat bahwa, pemerintah memiliki keabsahan melakukan intervensi pasar dengan emapat situasi. Pertama, kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan hajat orang banyak seperti air, tanah, api (minyak), pendidikan, kesehatan tidak dapat diperjualbelikan kecuali dengan harga sesuai dan perlu kontrol pemerintah.

Kedua, terjadinya kasus monopoli (penimbunan), pemerintah perlu menetapkan hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang untuk mengantisipasi tindakan negatif. Ketiga, terjadinya pemboikotan atau terkonsentrasinya distribusi barang pada pihak tertentu, sehingga terjadi penetapan harga yang semena-mena. Keempat, terjadinya koalisi dan kolusi antar penjual yang melakukan transaksi diantara mereka sendiri dangan harga dibawah pasar, sehingga menyebabkan fluktuasi barang yang ekstrim dan dramatis. Wallahu’alam!

Sumber: http://m.serambinews.com/news/view/5708/menyoal-neoliberalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar