Jumat, 20 Mei 2011

Revitalisasi Peran Lembaga Keuangan Islam

Oleh: Muhammad Dayyan

Kelahiran lembaga keuangan Islam sejak 1970 an merupakan hasil dari usaha keras para ulama dan cendikiawan Muslim dalam mewujudkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan syari’at Islam. Yaitu merealisakan maqashid shari’ah (tujuan shari’ah) dalam kegiatan ekonomi. Imam al-Ghazali menjelaskan tujuan dari syari’at adalah mempromosikan kesejahteraan seluruh ummat manusia dengan melindungi lima kebutuhan pokok manusia yaitu melindungi agama (aqidah), jiwa, keturunan (institusi keluarga), intelektual (akal), dan harta (maal). Dengan terlindungi lima perkara ini kepentingan public (ummah) akan terlindungi sebagai tujuan utama syari’at Islam. Menurut Umar Chapra (2000), salah seorang pakar ekonomi Islam menjelaskan bahwa maqashid shari’ah merupakan refleksi dari tujuan holistik ajaran Islam yang kaffah yang mengatur seluruh aspek hidup manusia baik secara individu maupun masyarakat untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Di Indonesia kita mengenal lembaga keuangan Islam seperti bank mu’amalat Indonesia, Bank Shari’ah Mandiri, Pergadaian Syari’ah, Bank Perkreditan Syari’ah (BPRS), Ansuransi Takaful, Reksadana Syari’ah dan lain-lain. Lembaga ini memiliki tanggungjawab dalam merealisakan maqashid syari’ah dalam aspek ekonomi. Yaitu menciptakan keadilan sosial melalui pemerataan distribusi pendapatan/kekayaan dan mempromosikan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi ummat sebagai misi utamanya. Misi ini akan tercapai manakala konsep berbagi untung dan resiko kerugian dalam usaha bisnis dapat direalisasikan dalam usaha bisnis sebagai pengganti sistim bunga/riba dalam perbankan konvensional. Sistim perbankan yang berbasis bunga hanya menguntungkan pihak pemilik modal.

Maka pembiayaan dalam bentuk musharakah (partnership), mudharabah (investasi) adalah produk unggulan lembaga keuangan Islam yang digagas oleh cendikiwan muslim pada tahun 1970an. Produk ini diyakini dapat mempromosikan norma-norma dan nilai-nilai Islam dan  jaminan terpenuhinya kebutuhan masyarakat Islam secara keseluruhan dalam kegiatan bisnis untuk melindungi lima kebutuhan pokok dalam tujuan syari’ah. Melalui pembiyaan yang berbasis berbagi untung dan resiko rugi perbankan Islam dapat ikut mendorong tumbuhnya usaha kecil menengah atau kewirausahaan dalam masyarakat muslim. Pengusaha kecil sering dimarginalkan oleh perbankan konventional sebab ketiadaan asset untuk menjadi boroh (jaminan) utang jika terjadi gagal bayar.

Ironisnya perbankan Islam saat ini lebih banyak menyalurkan pembiyaan dalam bentuk kredit/utang seperti murabahahbay bithaman ajilijarah ataupun wadi’ah sebagai produk unggulannya. Menurut penelitian Aggarwal dan Yousef (2000) bahwa sejak 1994-1996 perbankan Islam melakukan pembiayaan berbasis hutang (murabahah) mencapai 70 persen dari total pembiyaan sedangkan pembiayaan dalam bentuk musharakah dan mudharabah yang berbasis kerjasama dan investasi masing-masing hanya 7 persen. Selanjutnya penelitian Hasan (2007) pada perbankan Islam di Malaysia produk pembiyaan musharakah turun dari 1.4 persen tahun 2000 menjadi 0.2 persen tahun 2006. Sedangkan pembiyaan dengan basis utang seperti bay bithaman ajil (beli secara kredit) sebanyak 55.9 % dan ijarah thumma bay (sewa beli) 25.2 % pada tahun 2006.

Kalau ini yang diperankan maka asumsi yang berkembang tengah masyarakat bahwa perbankan Islam dan konvensional berbeda dari segi kosmetiknya saja. Perbakan konvensional sudah jelas berbasis riba atau bunga dalam semua bentuk produknya, maka jika produk perbankan Islam juga lebih mengutamakan pembiayaan berbasis utang maka tidak ada perbedaannya. Merealisakan tujuan shari’ah tidak hanya terbatas pada kebolehan bentuk transaksinya saja tapi juga secara subtansial pada struktur pembiyaannya yang memiliki implikasi lebih besar dalam aspek ekonomi. Artinya tidak hanya melihat kesahihan bentuk formalnya saja dengan penggunaan nama-nama produk seperti ijarahbay istisnamurabahah, bay bi tsaman ajilwadi’ah dan lain-lain. Ini hanyalah ungkapan halus untuk mengelak dari hal-hal yang dilarang oleh shari’ah.

Misalnya bank perbankan Islam membiayai kredit rumah dengan aqad murabahah atau menjual rumah kepada nasabah seharga Rp.80.000.000 dan nasabah harus membayarnya dalam bentuk cicilan seharga Rp. 88.000.000 selama sepuluh bulan. Lalu apa bedanya dengan 10 percent dari kredit perumahan perbankan konventional selama sepuluh bulan. Contoh lain produk rahn dari pergadaian syari’ah yang secara fiqh digunakan sebagai jaminan dari hutang. Biasanya rahn berbentuk perhiasan emas yang disimpan pada lembaga pergadaian untuk mendapatkan pinjaman hutang karena ada kebutuhan yang mendesak. Maka ketika pihak pergadaian menetapkan biaya menjaga barang jaminan hutang atau fee perbulan, misalnya, nasabah mengambil hutang Rp. 1.000.000 dengan biaya jaga rahn Rp 100.000,- perbulan sehingga si nasabah harus membayar Rp. 1.100.000,- pada saat jatuh tempo untuk menebus barang yang digadaikan. Lalu kalau barang tersebut ditebus sampai setahun apa bedanya dengan pergadaian atau hutang di lembaga keuangan konventional yang menetapkan 10 % bunga perbulan?

Meskipun pertumbuhan asset perbankan Islam yang laporkan dari tahun ke tahun tapi masih jauh dari missi utama perbankan Islam untuk merealisasikan ekonomi berbasis kerjasama dengan berbagi untung dan rugi. Namun lebih banyak menawarkan pembiayaan berbasis hutang. Dalam banyak hal perbankan Islam hanya meniru perbankan konvensional untuk memaksimalkan keuntungan dan menghindari resiko.

Maka kita berharap lembaga keuangan Islam yang ada di Indonesia khususnya di Aceh perlu merevitalisasikan kembali misi dan perannya dalam memberdayakan ekonomi ummat Islam.  Sebagaimana missi awal dari ekonomi dan keuangan Islam bertujuan merealisakan maqashid shari’ah. Perlu komitmen yang tinggi merealisasikan keadilan, persaudaraan dan kesejahteraan masyarakat. Konsekwensinya perlu bekerjasama antara, ulama, akademisi dan praktisi untuk melahirkan praktek perbankan sesuai dengan shari’ah sehingga melahirkan masyarakat yang berkonpetisi secara konstruktif untuk kebaikan dan kesuksesan hidup untuk meraih kebahagiaan yang paling tinggi (falah). Perbankan Islam tidak hanya memaksimalkan keuntungan materi tetapi perlu usaha-usaha serius untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan ketaqwaan yaitu mengurangi volume hutang di tengah masyarakat.

Krisis ekonomi global hendaknya menjadi pelajaran penting bagi lembaga keuangan Islam untuk tidak mengedepankan keuntungan materi saja dan mengabaikan rasa keadilan dalam aktifitas ekonomi. Bagaimanapun kita membutuhkan suatu instrumen yang dapat mengalirkan modal atau uang sebagai mata air ekonomi yang dapat membawa dampak kemaslahatan bagi kehidupan sosial yang berkeadilan. Instrumen sebagai suatu mekanisme distribusi kekayaan harus mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga kekayaan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok elite masyarakat saja. Sebagaimana Allah swt peringatkan dalam Alquan, surat Alhasyr 59; ayat 7, ’‘... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ....‘‘

Misi utama lembaga keuangan Islam adalah;  Pertama, seluruh pembiayaan harus dibebaskan dari riba dalam bentuk bunga, dan lebih mempromosikan pembiayaan dalam bentuk kemitraan (partnership) dengan mengurangi pembiayaan dalam bentuk hutang. Kedua, kredit pinjaman atau pembiayaan dalam bentuk hutang harus dijadikan sebagai satu instrument untuk saling tolong menolong. Tegasnya hutang dalam Islam harus menggunakan instrument qardhul hasan atau hutang lunak tanpa beban bunga atau fee dalam bentuk apapun. Melalui skim qardhul hasan kaum miskinpun layak mendapatkan pinjaman guna membuka usaha kecil bahkan biaya untuk pembangunan rumah. Untuk menghindari potensi gagal bayar, maka lembaga pemberi pinjaman harus disubsidi dari lembaga zakat atau wakaf untuk menutupi bila ada hutang yang gagal bayar bukan dengan memperbesar bunga pinjaman sebagaimana dalam ekonomi kapitalis.

Dengan demikian kesejahteraan umat dapat diwujudkan oleh lembaga keuangan Islam melalui alokasi pembiayaan pada sektor-sektor yang membawa manfaat bagi orang banyak sekaligus sebagai sarana dakwah penyebaran Islam. Wallahu’alam!

Muhammad Dayyan | Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan sedang menempuh pendidikan S2 Ekonomi Islam pada Intenational Islamic University Malaysia (IIUM).

http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=531%3Arevitalisasi-peran-lembaga-keuangan-islam&catid=72%3Aekonomi-a-pembangunan&Itemid=125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar