Selasa, 17 Mei 2011

Ironi Aceh

Muhammad Dayyan*


Penguasa di Aceh saat ini, sebagian mereka berasal dari kelompok pejuang. Mereka telah berkomitmen menghibahkan hidupnya untuk membela kepentingan rakyat, malahan mempertaruhkan nyawa untuk melawan setiap bentuk penindasan. Mengobarkan semangat untuk meraih perubahan dari sistim yang korup kepada sistim yang menjujung kepentingan rakyat Aceh.

Rakyat Aceh telah lama hidup dalam himpitan hidup akibat kebijakan penguasa yang mengutamakan kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya. Sumber-sumber ekonomi dicaplok dan dikuras untuk memperkaya diri. Para petani bekerja banting tulang namun keuntungan hanya dinikmati para toke. Proyek pembangunan hanya menghasilkan rumah baru bagi kontraktor. “Itulah prilaku kaum penjajah!” kata para pejuang.


Namun itu menjadi ironi setelah kekuasaan itu ada di tangan “pejuang”. Mereka sudah mengendalikan pemerintahan, ekonomi dan social, ternyata masih mengadopsi prilaku penjajah. Bila membaca realitas Aceh pasca damai atau post konflik, telah menimbulkan optimisme sekaligus pesimisme. Optimisme karena setelah 30 tahun rakyat Aceh hidup dalam tekanan dan himpitan penguasa tiran telah berganti. Para penguasa yang senang menindas itu telah tumbang dan busuk dimakan cacing. Dan Aceh sekarang sedang dalam era perdamaian, dan para pejuang yang dulu hidup dikejar-kejar telah pun dapat menikmati kekuasaan itu.

Optimis karena penguasa yang “pejuang” itu juga menjanjikan kesejahteraan rakyat diutamakan sehingga kemandirian seluruh rakyat Aceh akan terwujud. Trilyunan dana digulirkan untuk menata Aceh yang bermartabat. Yakni Aceh yang miliki sistim politik yang santun atau politik yang melahirkan pemimpin yang adil, amanah, jujur dan cerdas. Dengan harapan kemajuan diutamakan dan kesejahteraan rakyat didahulukan. Selanjutnya akan melahirkan sistim ekonomi yang memberdayakan kepentingan kaum lemah.

Namun secara perlahan pula optimisme itu mulai ditikam dan menjadi pesimisme ketika para penguasa yang dipilih oleh rakyat telah lupa pada ikrarnya, yaitu mendahulukan kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Realitas yang bisa dipersaksikan para penguasa itu lebih sibuk mengisi pundi-pundi kekayaan sendiri serta mengutamakan fasilitas sendiri daripada nasib rakyat.

Kita kecewa manakala mereka telah mabuk dan terlena dalam buayan kemapanan dan rakyat mulai dilupakan. Perjuangan yang dilatarbelakangi kondisi ketertindasan seketika terlupakan. Semangat atas landasan Islam yang melahirkan keberanian mulai tercampakkan seiring muncul kebebasan. Kebebasan atasnama perdamaian telah mendatangkan sedikit kemewahan perlahan melahirkan ketidakpedulian pada amanat penderitaan rakyat.

Tidak ada lagi konsolidasi kekuatan untuk menolong yang kurang beruntung, sebaliknya sibuk mempertahan dan memperebutkan pundi-pundi ekonomi untuk masing-masing. Sehingga yang kurang beruntung tetap dilupakan untuk sementara. Konsekwensi kemewahan yang memuaskan nafsu badani perlahan memunculkan sikap tidak peduli. Ketidakpedulian akan meruntuhkan impian kemandirian dan kembali pada pola ketergantungan yang akut. Rakyat harus kembali mengemis untuk memperoleh hak-haknya. Para penguasapun akan mengemis pada penguasa yang diatasnya lagi bahkan mengemis pada imperialisme dengan memuja dan menyanjung para investor asing.

Kekhawatiran saya bangsa dan rakyat Aceh akan kembali menjadi hamba. Hamba hawa nafsu, hamba kekuasaan, hamba neoliberal, hamba investor asing dan hamba para penguasa zalim. Inilah siklus sejarah yang sangat mengkhawatirkan. Dan ini sangat mungkin terjadi sebagaimana ditulis Dr. Sanusi Junid dalam blognya bahwa sejak bermulanya sejarah. Dalam masa 200 tahun bangsa maju mengikut urutan: “Dari perhambaan timbul semangat keagamaan. Kerana semangat agama muncul keberanian. Dari keberanian datanglah kebebasan. Dari kebebasan datang kemewahan. Dari kemewahan datang kepuasan. Dari kepuasan datang sikap tidak peduli. Dari tidak peduli datang sikap bergantung kepada orang lain. Dari bergantung kepada orang lain akhirnya kembali menjadi hamba”.

Apakah alam bawah sadar para pejuang yang berkuasa terus berpacu dalam siklus keruntuhan dan kebangkrutan moral yang akut? Secara kasat dapat kita amati sebagian pejuang yang berada ditampuk kekuasan eksekutif dan legislative baik ditingkat propinsi maupun kabupaten/kota mulai kehilangan control dan terperangkap dalam sistim atau kultur yang merusak.

Sistim yang merusak itu adalah prilaku korup, kolusi dan nepotisme yang secara pelahan akan terseret dalam golongan koruptor. Amat buruklah prilaku yang hanya mengikuti jejak para pengkhianat dan perusak bangsa. Dibagian lain yang mendapat kepercayan menjalankan proyek pembangunan baik yang didapatkan dengan santun ataupun lewat jalur “mafia” ala “premanisme” mulai hanyut dalam siklus yang mejijikkan. Menjijikkan sebab mereka mulai berjuang merebut proyek untuk memupuk kekayaan. Maka pembangunan hanya untuk mendapatkan fee dan kekayaan pribadi dengan mengabaikan kualitas pembangunan yang berorientasi bagi pemanfaatan kesejehateraan rakyat.

Banyak proyek pembangunan tak dapat difungsikan bagi kemashlahatan rakyat sebab tak berorientasi bagi kemajuan masa depan melainkan menghabiskan anggaran untuk memperkaya segelintir orang. Sebut saja di kampong saya Alue lhok proyek pembuatan kerambah untuk budidaya kerapu yang akan di kelola oleh masyarakat tak dapat difungsikan sebab tidak memenuhi standar. Konon dananya yang berasal dari APBK Aceh Timur lebih banyak mengalir untuk “pajak” raja lokal di Alue lhok dan tentu saja untuk kontraktor yang tak mau rugi.

Kini sudah banyak orang kaya baru di tengah masyarakat yang masih terhimpit dalam kepapaan. Prilaku orang kaya baru selain senang buat rumah baru, mobil baru, istri baru juga mulai punya hobi baru menghaburkan uang di tempat-tempat hiburan di kota-kota luar Aceh bahkan luar negeri. Toke-toke baru ini mulai diseret dalam keangkuhan dan hedonism. Sayangnya sebagian lagi yang kurang memiliki akses pada sumber dana rakyat itu memilih profesi perampokan, penyekapan dengan modus uang tebusan. Satu persatu mereka diringkus dan di lumpuhkan dalam kasus kriminal.

Kita kembali menanti pejuang baru yang dapat memotong siklus kemungkaran ini. Konsolidasi sistim yang makruf sudah sangat mendesak untuk menyadarkan penguasa yang korup, kontraktor dan pengusaha yang rakus, dan para anak bangsa yang masih senang merampok bahwa mereka juga suatu saat akan dimakan cacing. Semoga saja!

* Penulis adalah dosen pada STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, postgraduate student International Islamic University Malaysia.

http://www.serambinews.com/news/view/23004/ironi-aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar