Minggu, 22 Mei 2011

Zawiyah Cot Kala Langsa sebagai Mata Air Pencerahan Ummat


Oleh: Muhammad Dayyan

1164 tahun lalu tepatnya tanggal 1 Muharam 225 H (840 M) Raja Islam Perlak pertama Sayid Maulana Abdul Aziz yang dikenal dengan gelar Sulthan Alaidin Sayid Maulana Abdul Azizsyah (225-249 H/840-864 M) telah mendeklarasikan Islam sebagai agama negara Kerajaan Islam Perlak. Sehingga Kerajaan Perlak menanjak kepuncak kejayaannya karena menjadikan Islam sebagai pijakan berbangsa dan bernegara. Raja Perlak pertama itu membuat kebijakan dengan memerintahkan pemerintahan di bawahnya agar setiap gampong agar mendidirikan sekurang-kurangnya sebuah madrasah (oleh lidah Aceh disebut Meunasah) sebagai tempat mendidik anak-anak dalam bentuk pendidikan dasar, juga dimanfa’atkan untuk melaksanakan shalat jama’ah harian.

Kemudian sebagai induk dari beberapa gampong yang berdekatan diwajibkan membangun sebuah mesjid. Selain harus dimanfa’atkan untuk mengadakan shalat Jum’at, bagi masyarakat sekitarnya, juga diberbagai sudut mesjid itu harus diadakan halaqah-halaqah pengajian untuk mendidik pemuda/remaja sebagai lanjutan dari pendidikan yang ditempuh mereka di madrasah/menasah yang dikenal dengan tingkat menengah pertama.
Di ibu kota kerajaan Islam Perlak didirikan sebuah mesjid jami’ yang berfungsi selain tempat shalat jum’at juga di buat halaqah-halaqah pengajian untuk para pemuda yang ingin melanjutkan pendidikan dari mesjid kemukimannya. Pendidikan di mesjid jami’ Perlak ini bisa disebut zawiyah (pendidikan tinggi). 

Setelah Sulthan Alaidin Sayid Maulana Abdul Azizsyah mangkat pada tahun 249 H yang digantikan oleh putera sulungnya Sulthan Alaidin Sayid Maulana Abdurrahimsyah (249-274 H/864-888 M) menjadi Raja Islam Perlak yang kedua. Usaha sultan baru ini selain meningkatkan taraf hidup rakyatnya dibidang materi juga sangat serius meningkatkan taraf pendidikan rakyatnya dengan memamfa’atkan ilmu para ulama-ulama muda Perlak yang baru pulang dari luar negeri. Para ulama tersebut mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang disebut "Zawiyah" (yang kemudian oleh lidah Aceh disebut Dayah) diberbagai pelosok negeri. 

Zawiyah yang paling pertama di bangun adalah Zawiyah Buket Cek Brek yang diresmikan tahun 250 H (865 H). Sayangnya belum ada catatan siapa ulama yang mengajar di zawiyah ini, kalaupun kita tanyakan pada orang-orang tua hanya menyebutnya Teungku Chik di Bukit Cek Brek. Alumni zawiyah cek brek ini telah banyak menghasilkan sarjana sebagian pulang kampung sebagian lagi menjutkan pendidikan keluar negeri di Timur Tengah. Salah satunya adalah Meurah Muhammad Amin yang pada tahun 270 H dalam usianya 18 tahun melanjutkan studi ke Mekkah bahkan sampai ke Baitul Hikmah Universias Islam yang mashur di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (170-193 H). 

Setelah lebih kurang 15 tahun Meurah M. Amin dan kawan-kawannya menuntut ilmu dan mengembara di Timur Tengah sehingga telah menguasai berbagai disiplin ilmu pulang kembali ke Perlak kampong halamannya. Kepulangannya disambut gembira oleh pembesar-pembesar kerajaan Perlak dibawah kepemimpinan Sulthan Alaidin Sayid Maulana Abbasyah (274-300 H/888-913 M) Raja Perlak yang ketiga Putra Sulung Sulthan Maulana Abdurrahimsyah.

Rencana Meurah M. Amin dan kawan-kawanya sesuai dengan rencana Sulthan Perlak pada waktu itu, yaitu membangun perguruan Tinggi Islam yang terletak di desa Cot Kala antara Perlak dengan Langsa ke hulu Bayeun yang tidak jauh dari Bandar dagang Ramiah. Dalam masa yang relatif singkat Zawiyah/Dayah Cot Kala menjadi pusat pendidikan Islam di Asia Tenggara pertama. Setelah 25 tahun sukses memimpin Zawiyah, Meurah M. Amin Cot Kala itu terpilih untuk menduduki tahta kerajaan Islam Perlak VI dengan gelar Sulthan Makdhum Alaidin Malik Muhammad Aminsyah I (310-334 H/922-946 M).

Prestasi Zawiyah Cot Kala itu setelah pimpinannya menjadi Sulthan Kerajaan Islam Perlak. Kini Zawiyah Cot Kala yang pernah terkenal itu telah hilang . Untuk mengingatkannya para Ulama dan Cendikiawan di Aceh Timur berusaha membangun kembali lembaga pendidikan Zawiyah Cot Kala yaitu lembaga Pendidikan Tinggi (PT) yang berada di Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang. Gagasan ini lahir dalam rekomendasi seminar "Masuknya Islam ke Nusantara" di Rantau Pertamina tahun 1980 didirikanlah Perguruan Tinggi Agama Islam yang dikenal dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Zawiyah Cot Kala Langsa.  
Setelah 26 tahun, melalui Keputusan Presiden No. 106 Tahun 2006 STAI Cot Kala di negerikan. Dengan demikian STAIN Zawiyah Cot Kala menjadi salah satu pilihan utama masyarakat Aceh untuk melanjutkan pendidikan tinggi Islam setelah IAIN Ar-Raniry di Banda Aceh dan STAIN Malikussaleh di Aceh Utara. 

Penting untuk disadari bahwa eksistensi lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh mutu pendidikan. Maka STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa telah mengembangkan diri secara berkelanjutan untuk mengembalikan ruh Lembaga Pendidikan Islam sebagai salah satu central exelent (pusat keunggulan) di Aceh abad ke 10 itu. 

Para mahasiswa tidak boleh lagi menyelesaikan kuliah asal lulus, perlu pembentukan karakter yang mampu menyelesaikan persoalan ummat dengan wawasan keIslaman dan social kemasyarakatan. Demikian pula halnya para dosen tidak lagi cukup sekedar mengajar dengan bahan yang standar tanpa banyak perubahan dari tahun ke tahun. Civitas akademika tidak boleh lagi merasa aman dan nyaman pada posisi saat ini tanpa kekhawatiran ditengah perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia global.

Islam dengan Ilmu laksana jasad dengan roh. Tubuh dengan nyawa kata, T. Syahabudin Razi dalam Muqaddimah Seminar "Masuknya Islam ke Nusantara" di Rantau Pertamina tahun 1980. Dimana saja Islam itu berada disitu pulalah ilmu-ilmu mendampinginya. Islam dengan Ulama/cendikia umpama insan dengan akal budinya. Islam dan penganutnya dengan lembaga pendidikan laksana seorang manusia dengan pakaiannya. Maka muslim tanpa pendidikan penaka insan tanpa pakaian. Semakin beragam pendidikan yang ditempuh sesorang sama dengan semakin lengkap pakaian yang di pakai seseorang dalam makna lebih luas.

Islam, umat, ilmu, ulama dan pendidikan dengan lembaga pendidikan ibarat sungai atau sumur dengan mata airnya. A. Hasyimi dalam bukunya "Peranan Agama Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia" mencatat ‘Semenjak berdiri Kerajaan Islam pertama di Aceh yaitu, Kerajaan Islam Perlak, pendidikan Islam telah mengambil tempat yang terdepan dalam pembangunan bangsa, yang dimulai dengan berdirinya pusat pendidikan Dayah Cot Kala yang kemudian berkembang biak keseluruh Aceh.

Maka STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa perlu menemukan dan menumbuhkan nilai-nilai penting untuk diusung bersama dan diterapkan dalam aktivitas keseharian kehidupan kampus dalam rangka mewujudkan perguruan tinggi yang terus berinovasi, berprestasi, berkembang dan memenuhi kebutuhan umat. 

STAIN yang menekankan pada ilmu Agama, seperti ilmu Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa Arab, Pendidian Bahasa Inggris, Pendidikan Matematika, ilmu Hukum Islam, Ekonomi Islam dan Komunikasi/Penyiaran Islam, perlu penyelenggaraan sistem pendidikan yang bermutu untuk melahirkan lulusan yang siap mengembangkan potensi daerahnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. 

Maka pengiriman dosen-dosen yang berpotensi untuk melanjutkan studi secara berkesinambungan sangat penting; Pertama, untuk mencerahkan pola pikir lembaga pendidikan tinggi dan meningkatkan pencerahan masyarakat di daerah. Kedua, lembaga pendidikan akan mampu melakukan terobosan cerdas dan prospektif sehingga produk pendidikan bisa lebih berkualitas. Ketiga, akan berdampak pada peningkatan SDM dosen dalam mengelola pendidikan tinggi dan mampu meningkatkan keunggulan, sehingga siap bersaing dengan kemajuan dunia global yang terus mengalami perubahan.

Maka bagi STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa sebagaimana sejarahnya adalah pusat pendidikan yang mampu memberi pencerahan masyarakatnya. Harus mampu menjadi salah satu lembaga pendidikan tinggi yang mampu menjadi rujukan ilmu ke-Islaman. Suatu perguruan tinggi akan diakui eksistensinya jika mampu mengembangkan potensi intelektual kaumnya. Keunggulan pendidikan tinggi ditentukan oleh ketinggian pemikiran civitas akademikanya. Dengan pemikiran yang tinggi akan mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun suprastruktur dan infrastruktur yang tersedia. Dalam hal ini melanjutkan pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran. Dan yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup Islam.

Sumber daya dosen menentukan setting pendidikan di perguruan tinggi, karena yang mengarahkan seseorang untuk memberi respon terhadap situasi yang sedang berlangsung dengan paradigma ilmu pengetahuan Islam. Dari sini, kita melihat sumber daya dosen berperan vital sebagai jalan kebangkitan. Dengan adanya sumber daya yang tercerahkan melalui ilmu dan pemikiran tinggi akan berfungsi untuk mendorong kemajuan di kabupaten/kota tempat STAIN berada. Bahkan, perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para intelektual yang ada diperguruan tinggi. Ini bukan sekadar teori, tapi telah menjadi fakta yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, dan Adam Smith dan alin-lain adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan mengubah pemikiran masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, dan Ibn Khaldun mempengaruhi cara berpikir masyarakat dan bahkan kehidupan masyarakat Islam. Jadi, membangun Aceh harus dimulai dengan membangun pemikiran masyarakat, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas. Semoga!

(Sumber Rujukan: catatan Majelis Ulama Aceh Timur hasil seminar "Sejarah masuk Islam ke Indonesia" di Medan tanggal 17 s/d 20 Maret 1963 dan seminar "Sejarah masuk dan berkembangnya Agama Islam di Aceh" taggal 11 s/d 16 Juni 1978 di Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar