Oleh: Muhammad Suhaili Sufyan dan Muhammad Dayyan
Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah
dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf resmi menjadi pemimpin Aceh yang ke 18 yang dilantik pada tanggal 25 Juni 2012 oleh menteri dalam negeri Republik Indonesia Gumawan Fauzi. Selanjutnya Gubernur baru melantik para kepala daerah tingkat dua mulai dari Aceh besar sampai Singkil diseluruh Aceh.
Pelantikan para kepala daerah ini patut kita cermati untuk melihat dan
mendengar komitmen para pemimpin di Aceh yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam tradisi Islam pelantikan pemimpin
sangat penting yang mengangkat sumpah atas nama Allah SWT. Dalam tulisan ini
penulis menukilkan pidato politik Abubakar sebagai khalifah pertama setelah
Rasulullah saw wafat. Sesaat setelah dilantik atau dibai’at oleh publik, Khalifah
pertama umat Islam, Abu Bakar al-Siddiq menyampaikan pidato politiknya yang
pertama. Pidatonya menggambarkan secara umum komitmen kebijakan politik yang
akan dijalankan oleh pemerintahannya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin
Malik dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, setelah memuji Allah Abu Bakar
berkata: Aku telah dipilih untuk menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah yang
terbaik di antara kalian, jika aku berbuat baik maka bantulah aku, jika aku
tersalah maka tolong lah perbaiki aku,
berkata benar adalah sebuah amanah dan berbohong adalah sebuah pengkhianatan,
orang yang lemah di antara kamu adalah kuat dalam pandangan ku dengan memberi
hak-hak mereka, orang-orang kuat adalah lemah dalam pandangan ku sehingga aku
dapat mengambil hak orang lain daripadanya insya Allah, jika suatu kaum
meninggalkan jihad di jalan Allah maka Allah akan menimpakan kelemahan dan
kehinaan kepada mereka, jika perbuatan keji telah meraja lela dalam suatu umat
maka Allah akan menurunkan kepada mereka bala, taatlah kepada ku selama aku
taat kepada Allah, jika aku berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka
tidak wajib taat kepada ku, Bangun dan bersegeralah untuk melaksanakan shalat
sehingga Allah memberi rahmat kepadamu.
Pidato ini cukup jelas, tegas, sarat nilai
spiritualitas dan menyentuh segala aspek dasar kehidupan masyarakat. Pidato tersebut sangat
relevan untuk diaktualisasikan kembali oleh pemimpin baru Aceh Dato’ Zaini
Abdullah dan Muzakkir Manaf dan seluruh Bupati/Wakil Buapti dan Walikota/Wakil
Walikota dalam kontek pembangunan Aceh.
Tawadhu dan integritas diri
Para pemimpin sejatinya memiliki sikap dna
jiwa yang tawadhu’ dan berintegritas. Pemimpim Aceh pada semua level
pemerintahan sebagaimana penggal pertama pidato khalifah Umar yang diawali
dengan sikap tawadhu serta merendah diri. Tawadhu ini merupakan sifat utama
seorang mukmin (lebih lanjut baca akhir surah al-Furqan). Abu Bakar secara
terbuka mengakui bahawa beliau bukanlah orang yang terbaik di antara para
sahabat pada waktu itu, karena tidak selalunya yang terbaik yang terpilih, akan
tetapi yang terpilih itulah yang terbaik, walaupun menurut beliau bukanlah yang
terbaik akan tetapi pilihan telah dibuat dan kepercayaan telah diberikan
kepadanya. Pengakuan beliau adalah suatu bentuk tawadhu (merendah diri) di mana
semua orang tahu bahwa beliau adalah “soul mate” atau orang yang paling
dekat dengan rasulullah semenjak dari Mekkah sampai di Madinah, namun demikian
beliau tidak pernah menganggap beliaulah yang paling berhak untuk memimpin.
Dari sikap ini, pemimpin baru Aceh
hendaklah menampilkan sikap tawadhu dengan mengetepikan ego sentris “menyo
ken ie mandum leuhop menyo ken droe mandum goep”. Pemimpin Aceh adalah
milik semua rakyat Aceh, walaupun dalam proses pemilihan di usung oleh partai
tertentu. Ketika menjadi pemimpin Aceh, dia adalah milik semua rakyat Aceh dan
harus memperhatikan semua rakyat Aceh.
Tawadhu tidak berarti “lebay” “leubeot
dan loyo” tidak memiliki sikap dan semangat kerja. Akan tetapi substansi
dari tawadhu itu adalah, pengakuan bahawa apa yang dimiliki dan diamanahkan
merupakan milik Allah untuk “dipeutimang” dan nanti diakhirat akan
dimintai pertanggung jawapan selain pertanggung jawapan di dunia.
“Meunemat” dalam pemerintahan
Tidak kalah penting dari yang pertama,
sikap politik kedua yang disampaikan secara terbuka adalah jelasnya barometer yang digunakan dalam
menjalankan pemerintahan. Kebenaran dan ketaatan merupakan kata pemisah antara
taat dan pembangkangan terhadap pemerintah. Dengan suara lantang Abu Bakar
menegaskan bahwa rakyat berhak mengikutinya selama dia berbuat baik dan taat
kepada Allah, jika ia menyimpang dari ketaatan maka rakyat tidak perlu
mengikutinya. Ungkapan “taatlah kepada ku selama aku taat kepada Allah, jika
aku berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak wajib taat kepada ku”,
merupakan statement yang sangat tegas terhadap dasar hubungan antara pemerintah
dengan rakyat.
Ketaatan yang disampaikan merupakan
ketaatan universal meliputi kebaikan dan ketaatan dalam ruang lingkup beribadah
kepada Allah (hablum minallah) dan kebaikan dalam menjalankan ibadah
sosial sesama manusia (hablum minannas) yang didalamnya termasuk berbuat
baik dalam menjalankan roda pemerintahan. Kejelasan barometer ini sangat
penting sebagai dasar pijakan atau “meneumat” bagi semua masyarakat,
sehingga kebenaran itu tidak mengikut hawa nafsu dan kepentingan individu,
kelompok mahupun golongan atau tafsiran pribadi. “meneumat” nya adalah
kebenaran dan ketaatan kepada Allah.
Kejelasan prinsip ini juga memberikan ruang
kepada publik untuk mengkritik kebijakan yang nantinya dijalankan oleh
pemerintah. Keterbukaan menerima kritik dan saran selama masih dalam koridor
ketaatan kepada Allah, di mana yang menasehati dan memperbaiki pemerintah juga
bukan atas dasar kepentingan individu, kelompok maupun golongan tetapi semua
atas dasar ketaatan kepada Allah. Ini merupakan prinsip yang sangat tegas
disampaikan ke publik “jika aku berbuat baik maka bantulah aku, jika aku
tersalah maka tolong lah perbaiki aku”,
sehingga hubungan yang akan terjalin antara rakyat dan pemimpin adalah hubungan
persaudaraan yang saling ingat mengingati dan nasehat-menasehati berlandaskan prinsip
mencari ridha Allah, bukan aktualisasi diri, kelompok, ego peribadi apalagi
balas dendam.
Maka dalam konteks pemerintahan Aceh sangat
dibutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai ridha
Allah sehingga ia akan menggunakan wewenang dan otoritasnya untuk membela hak
rakyat yang tertindas, kezaliman yang diperagakan oleh kepongahan manusia akan
dihentikan, penindasan akan dihapus, hak-hak orang kecil yang dirampas akan
dikembalikan, para durjana dan penebar terror akan dihentikan dan semua akan
dihadapkan ke pengadilan. Komitmen ini ditegaskan oleh Abu bakar lewat
ungkapannya “orang yang lemah di antara kamu adalah kuat dalam pandangan ku
dengan memberi hak-hak mereka, orang-orang kuat adalah lemah dalam pandangan ku
sehingga aku dapat mengambil hak orang lain daripadanya insya Allah”. Pemimpin
Aceh yang baru hendaknya menjadi penjamin rasa aman bagi masyarakat, pembela
mereka dari rongrongan sikap “premanisme” yang ingin memperkosa rasa keadilan
mereka. Orang lemah akan merasa terbela kepentingannya dan orang yang zalim
akan terhad syahwatnya. Pemerintah adalah orang tengah “wiseman” antara hak
orang teraniaya dan nafsu para durjana.
Terakhir dari pidato khalifah Umar adalah
komitment kejujuran dan jihad. Jihad dalam makna yang luas yang dalam konteks
Aceh saat ini adalah untuk mengisi kondisi damai Aceh untuk menegakkan
keadilan, berjihad menghapus kemiskinan, berjihad melawan kebodohan, melawan
kemerosotan nilai-nilai agama dalam tatanan masyarakat, melawan pemborosan
anggaran, berjihad melawan mafia proyek, berjihad meningkatkan kualitas hidup nyak-nyak
yang mencari sesuap nasi dengan menjajakan sayur-mayur di pasar, menolong
orang-orang kecil, berjihad melindungi alam anugerah Allah dengan segala
isinya, berjihad melawan “nafsu” keinginan peribadi atau kelompok yang selalu
cenderung untuk menikmati sendiri dan sebesar mungkin kue pembangunan, berjihad
membuka irigasi, berjihad melawan nepotisme dan banyak lagi jihad yang harus
dikerjakan, karena hanya dengan jihadlah kita akan berjaya.
Rakyat Aceh berharap pemimpim Aceh yang
dilantik pada tanggal 25 Juni 2012 ini (Doto Zaini-Muzakkir Manaf) dan para “amir”
pemimpin wilayah (bupati/walikota) dapat mengaktualisasikan lagi
prinsip-prinsip pemerintahan yang dipegang oleh Abu bakar dalam meneruskan
perjuangan Rasulullah SAW. Sehingga Aceh akan lebih baik dalam ridha ilahi, wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar