Selasa, 26 Juni 2012

Memaknai Pelantikan Pemimpin Baru Aceh


Oleh: Muhammad Suhaili Sufyan dan Muhammad Dayyan


Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf resmi menjadi pemimpin Aceh yang ke 18 yang dilantik pada tanggal 25 Juni 2012 oleh menteri dalam negeri Republik Indonesia Gumawan Fauzi. Selanjutnya Gubernur baru melantik para kepala daerah tingkat dua mulai dari Aceh besar sampai Singkil diseluruh Aceh. Pelantikan para kepala daerah ini patut kita cermati untuk melihat dan mendengar komitmen para pemimpin di Aceh yang dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam tradisi Islam pelantikan pemimpin sangat penting yang mengangkat sumpah atas nama Allah SWT. Dalam tulisan ini penulis menukilkan pidato politik Abubakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah saw wafat. Sesaat setelah dilantik atau dibai’at oleh publik, Khalifah pertama umat Islam, Abu Bakar al-Siddiq menyampaikan pidato politiknya yang pertama. Pidatonya menggambarkan secara umum komitmen kebijakan politik yang akan dijalankan oleh pemerintahannya.


Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, setelah memuji Allah Abu Bakar berkata: Aku telah dipilih untuk menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, jika aku berbuat baik maka bantulah aku, jika aku tersalah maka tolong lah perbaiki  aku, berkata benar adalah sebuah amanah dan berbohong adalah sebuah pengkhianatan, orang yang lemah di antara kamu adalah kuat dalam pandangan ku dengan memberi hak-hak mereka, orang-orang kuat adalah lemah dalam pandangan ku sehingga aku dapat mengambil hak orang lain daripadanya insya Allah, jika suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah maka Allah akan menimpakan kelemahan dan kehinaan kepada mereka, jika perbuatan keji telah meraja lela dalam suatu umat maka Allah akan menurunkan kepada mereka bala, taatlah kepada ku selama aku taat kepada Allah, jika aku berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak wajib taat kepada ku, Bangun dan bersegeralah untuk melaksanakan shalat sehingga Allah memberi rahmat kepadamu.

Pidato ini cukup jelas, tegas, sarat nilai spiritualitas dan menyentuh segala aspek dasar  kehidupan masyarakat. Pidato tersebut sangat relevan untuk diaktualisasikan kembali oleh pemimpin baru Aceh Dato’ Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf dan seluruh Bupati/Wakil Buapti dan Walikota/Wakil Walikota dalam kontek pembangunan Aceh.

Tawadhu dan integritas diri

Para pemimpin sejatinya memiliki sikap dna jiwa yang tawadhu’ dan berintegritas. Pemimpim Aceh pada semua level pemerintahan sebagaimana penggal pertama pidato khalifah Umar yang diawali dengan sikap tawadhu serta merendah diri. Tawadhu ini merupakan sifat utama seorang mukmin (lebih lanjut baca akhir surah al-Furqan). Abu Bakar secara terbuka mengakui bahawa beliau bukanlah orang yang terbaik di antara para sahabat pada waktu itu, karena tidak selalunya yang terbaik yang terpilih, akan tetapi yang terpilih itulah yang terbaik, walaupun menurut beliau bukanlah yang terbaik akan tetapi pilihan telah dibuat dan kepercayaan telah diberikan kepadanya. Pengakuan beliau adalah suatu bentuk tawadhu (merendah diri) di mana semua orang tahu bahwa beliau adalah “soul mate” atau orang yang paling dekat dengan rasulullah semenjak dari Mekkah sampai di Madinah, namun demikian beliau tidak pernah menganggap beliaulah yang paling berhak untuk memimpin.

Dari sikap ini, pemimpin baru Aceh hendaklah menampilkan sikap tawadhu dengan mengetepikan ego sentris “menyo ken ie mandum leuhop menyo ken droe mandum goep”. Pemimpin Aceh adalah milik semua rakyat Aceh, walaupun dalam proses pemilihan di usung oleh partai tertentu. Ketika menjadi pemimpin Aceh, dia adalah milik semua rakyat Aceh dan harus memperhatikan semua rakyat Aceh.

Tawadhu tidak berarti “lebay” “leubeot dan loyo” tidak memiliki sikap dan semangat kerja. Akan tetapi substansi dari tawadhu itu adalah, pengakuan bahawa apa yang dimiliki dan diamanahkan merupakan milik Allah untuk “dipeutimang” dan nanti diakhirat akan dimintai pertanggung jawapan selain pertanggung jawapan di dunia.

“Meunemat” dalam pemerintahan

Tidak kalah penting dari yang pertama, sikap politik kedua yang disampaikan secara terbuka adalah  jelasnya barometer yang digunakan dalam menjalankan pemerintahan. Kebenaran dan ketaatan merupakan kata pemisah antara taat dan pembangkangan terhadap pemerintah. Dengan suara lantang Abu Bakar menegaskan bahwa rakyat berhak mengikutinya selama dia berbuat baik dan taat kepada Allah, jika ia menyimpang dari ketaatan maka rakyat tidak perlu mengikutinya. Ungkapan “taatlah kepada ku selama aku taat kepada Allah, jika aku berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak wajib taat kepada ku”, merupakan statement yang sangat tegas terhadap dasar hubungan antara pemerintah dengan rakyat.

Ketaatan yang disampaikan merupakan ketaatan universal meliputi kebaikan dan ketaatan dalam ruang lingkup beribadah kepada Allah (hablum minallah) dan kebaikan dalam menjalankan ibadah sosial sesama manusia (hablum minannas) yang didalamnya termasuk berbuat baik dalam menjalankan roda pemerintahan. Kejelasan barometer ini sangat penting sebagai dasar pijakan atau “meneumat” bagi semua masyarakat, sehingga kebenaran itu tidak mengikut hawa nafsu dan kepentingan individu, kelompok mahupun golongan atau tafsiran pribadi. “meneumat” nya adalah kebenaran dan ketaatan kepada Allah.

Kejelasan prinsip ini juga memberikan ruang kepada publik untuk mengkritik kebijakan yang nantinya dijalankan oleh pemerintah. Keterbukaan menerima kritik dan saran selama masih dalam koridor ketaatan kepada Allah, di mana yang menasehati dan memperbaiki pemerintah juga bukan atas dasar kepentingan individu, kelompok maupun golongan tetapi semua atas dasar ketaatan kepada Allah. Ini merupakan prinsip yang sangat tegas disampaikan ke publik “jika aku berbuat baik maka bantulah aku, jika aku tersalah maka tolong lah perbaiki  aku”, sehingga hubungan yang akan terjalin antara rakyat dan pemimpin adalah hubungan persaudaraan yang saling ingat mengingati dan nasehat-menasehati berlandaskan prinsip mencari ridha Allah, bukan aktualisasi diri, kelompok, ego peribadi apalagi balas dendam.

Maka dalam konteks pemerintahan Aceh sangat dibutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai ridha Allah sehingga ia akan menggunakan wewenang dan otoritasnya untuk membela hak rakyat yang tertindas, kezaliman yang diperagakan oleh kepongahan manusia akan dihentikan, penindasan akan dihapus, hak-hak orang kecil yang dirampas akan dikembalikan, para durjana dan penebar terror akan dihentikan dan semua akan dihadapkan ke pengadilan. Komitmen ini ditegaskan oleh Abu bakar lewat ungkapannya “orang yang lemah di antara kamu adalah kuat dalam pandangan ku dengan memberi hak-hak mereka, orang-orang kuat adalah lemah dalam pandangan ku sehingga aku dapat mengambil hak orang lain daripadanya insya Allah”. Pemimpin Aceh yang baru hendaknya menjadi penjamin rasa aman bagi masyarakat, pembela mereka dari rongrongan sikap “premanisme” yang ingin memperkosa rasa keadilan mereka. Orang lemah akan merasa terbela kepentingannya dan orang yang zalim akan terhad syahwatnya. Pemerintah adalah orang tengah “wiseman” antara hak orang teraniaya dan nafsu para durjana.      

Terakhir dari pidato khalifah Umar adalah komitment kejujuran dan jihad. Jihad dalam makna yang luas yang dalam konteks Aceh saat ini adalah untuk mengisi kondisi damai Aceh untuk menegakkan keadilan, berjihad menghapus kemiskinan, berjihad melawan kebodohan, melawan kemerosotan nilai-nilai agama dalam tatanan masyarakat, melawan pemborosan anggaran, berjihad melawan mafia proyek, berjihad meningkatkan kualitas hidup nyak-nyak yang mencari sesuap nasi dengan menjajakan sayur-mayur di pasar, menolong orang-orang kecil, berjihad melindungi alam anugerah Allah dengan segala isinya, berjihad melawan “nafsu” keinginan peribadi atau kelompok yang selalu cenderung untuk menikmati sendiri dan sebesar mungkin kue pembangunan, berjihad membuka irigasi, berjihad melawan nepotisme dan banyak lagi jihad yang harus dikerjakan, karena hanya dengan jihadlah kita akan berjaya.

Rakyat Aceh berharap pemimpim Aceh yang dilantik pada tanggal 25 Juni 2012 ini (Doto Zaini-Muzakkir Manaf) dan para “amir” pemimpin wilayah (bupati/walikota) dapat mengaktualisasikan lagi prinsip-prinsip pemerintahan yang dipegang oleh Abu bakar dalam meneruskan perjuangan Rasulullah SAW. Sehingga Aceh akan lebih baik dalam ridha ilahi, wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar