Minggu, 03 Juli 2011

Merdekakan Rakyat dengan Pilkada Damai

Oleh: Muhammad Dayyan

"Pilkada damai akan memberikan kenyamanan dan kemerdekaan bagi rakyat Aceh untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Sehingga pemimpin yang terpilih dihormati dan dicintai oleh rakyat. Dengan itu pula akan mudah dapat melaksanakan amanah atas legitimasi yang kuat untuk melanjutkan dan mempercepat pembangunan disegala sektor di Aceh".

Aksi terror, intimidasi dan ancaman untuk mendapatkan kekuasaan sebagai pemimpin Aceh tidak saja mencederai demokrasi tapi juga akan merampas kemerdekaan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sebab kegiatan yang memamfa’atkan masyarakat untuk kepentingan politik sesaat seperti, penipuan, kecurangan, black campaign dan intimidasi hanya akan menambah penderitaan rakyat yang berakhir pada kericuhan dan kemelut yang berkepanjangan.


Maka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan pada November 2011 diharapkan dapat berjalan secara damai. Sehingga rakyat dapat menggunakan hak pilihnya secara merdeka dalam pesta demokrasi Aceh. Pesta untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota periode 2012-2017. Pilkada damai akan memberikan kenyamanan dan kemerdekaan bagi rakyat Aceh untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Sehingga pemimpin yang terpilih dihormati dan dicintai oleh rakyat. Dengan itu pula akan mudah dapat melaksanakan amanah atas legitimasi yang kuat untuk melanjutkan dan mempercepat pembangunan disegala sektor di Aceh. Percepatan sangat dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan yang begitu jauh dengan daerah lain akibat konflik dan bencana. Pilkada damai akan disambut dengan sangat antusias dan penuh optimisme melalui kenduri dan do’a kepada yang Maha Kuasa agar pemimpin Aceh kedepan benar-benar komitmen pada janji dan sumpahnya.

Tindakan politik atau kampanye yang bercirikan primitif harus dihentikan sebagai prasyarat terlaksana Pilkada damai di Aceh. Cara-cara primitif yang mengedepankan kekuatan fisik dalam menggalang dukungan merupakan pola purba yang disebut homo homini lupus--- sekelompok manusia adalah serigala pemangsa bagi kelompok manusia lainnya--- sebagai alat untuk merampas legitimasi kekuasaan. Tentu ini sangat jauh dengan ciri masyarakat Aceh yang mayoritas Islam.

Memilih pemimpin yang sarat intimidasi dan terror lebih dekat dengan prilaku masyarakat jahiliyah yang menjalankan pola hubungan social, politik dengan mengkhianati kesepakatan bersama. Yang selalu berdasarkan kehendak penguasa suku/kabilah yang paling kuat yang dibuktikan dalam pertarungan fisik. Penghargaan bukan didasarkan kepada prestasi (achievement) namun pada prestise (gengsi) dan selalu merusak keteraturan dan keseimbangan sosial.

Secara sosiologis kita sudah melewati fase kehidupan primitif tersebut. Zaman sudah  berada pada fase postmodernisme melampau fase modern itu sendiri yang ditandai dengan peradaban yang tinggi dengan segala kemudahan teknologi. Pun demikian agaknya sebagian manusia sepertinya enggan melepaskan ciri primitif nenek moyang pra-sejarah seperti prilaku penyelesaian masalah dengan kekerasan, penipuan, pengkhianatan, ego sektoral (gengsi) dan sarat muatan kepentingan individu maupun kelompok serta gemar menumpuk kekayaan diatas penderitaan banyak orang secara rakus dan kanibalis.

Kelompok primitif ini cenderung agresif dan destruktif yang berlebihan terhadap alam. Mereka merusak keseimbangan alam dengan mengekploitasi hasilnya tanpa mengindahkan kerusakan yang ditimbulkan bagi masyarakat banyak. Hukum dan kesepakatan sosial sebagai ciri manusia modern sering dimanipulasi untuk menutupi perbuatannya dengan cara-cara bulus dan hipokrit (kemunafikan) demi meraih kuasa dan jabatan. Sehingga jabatan yg didapat cenderung dipakai untuk memanjakan syahwatnya dan untuk kesenangan pribadi, keluarga, dan kroninya. Pemimpin yg haus jabatan akan melakukan cara apapun untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya.
           
Ajaran Islam sangat anti terhadap prilaku primitif tersebut. Islam mempromosikan tatanan sosial kemasyarakatan yang berbasis nilai-nilai ke-Tuhan-an (Tauhid). Tauhid yang berarti meng-Esa-kan Tuhan dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Prinsip tauhid menegaskan bahwa manusia menuju satu tujuan karena manusia berasal dari kehendak yang Satu dan karakter manusia berlandaskan pada sumber yang sama. Dengan paradigma Tauhid inilah Muhammad SAW membentuk sikap perlawanan terhadap ketidakadilan dan kepongahan sistim primitif-jahiliyah. Selanjutnya memberi satu kesadaran sosial bagi masyarakat bahwa orang-orang yang lemah secara politik dan ekonomi sebenarnya juga punya kekuatan.

Saya yakin masyarakat Aceh yang Islami senantiasa memegang teguh ajaran Islam yang bertumpu pada Tauhid. Ajaran yang senantiasa menumbuhkan persaudaraan, kasih sayang, kepedulian yang mendorong terbangunnya masyarakat modern yang terbuka serta dapat berdialog, bekerja sama dengan semangat saling tolong-menolong dengan tulus yang jauh dari kedengkian. Keterbukaan dalam pengertian kejujuran dan musyawarah adalah sikap yang mau dikoreksi serta mengoreksi---wataawa saubil-haaq wataawa saubish-shabr---untuk kebaikan. Semangat Tauhid meniscayakan penegakan keadilan sebagai prasyarat dari tegaknya masyarakat yang seimbang, elegan, semangat persamaan derajat sebagai ciri dari kualitas taqwa.  Semangat Tauhid akan mendorong kreatifitas dan perbuatan yang mempunyai tujuan membangun masyarakat yang madani.

Dalam kontek politik kita dituntut tanggungjawab membangun sistim kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, yang memungkinkan masing-masing anggota masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya secara merdeka, bebas, langsung dan rahasia tanpa ketakutan. Kita telah memilih demokrasi sebagai media mengaktulisasikan potensi kemanusiaan kita untuk memilih dan menjalankan amanah kepemimpinan harus terus kawal dan terus diperkuat kualitasnya. Artinya tidak hanya berhenti pada demokrasi prosedural (pilkada) tapi terus didorong pada demokrasi yang berlaku secara kultural (sistim kehidupan yang menjamin setiap individu dapat mengaktulisasikan potensi kemanusiaannya dan bebas dari kezaliman) dengan menjadikan tauhid sebagai paradigma aktifitas politik. Sehingga dapat berkembang ke arah keadilan ekonomi yang meningkatkan kemakmuran rakyat.

Oleh sebab itu elit politik di Aceh harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip Tauhid yang kuat untuk memangun kembali tatanan sosial yang berkeadilan. Sehingga menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya baik yang menyangkut terpeliharanya agama, diri (jiwa dan raga), akal, harta benda serta keselamatan nasab dan keturunan yang merupakan kebutuhan pokok.  Pelaksanaan pilkada damai dimulai dari mendapatkan kekuasaan secara jujur sehingga menghasilkan sistim kehidupan yang jujur, adil, terbuka dan elegan serta konsisten dalam semua lini kegiatan akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat yang membawa kehidupan yang baik (hayyatan thayyibah).

Allah menjanjikan kehidupan yang baik kalau kita mengerjakan amal kebajikan. Dalam konteks politik amal yang baik adalah menjalankan proses pemilihan secara baik dan bermartabat sehingga menghasilkan kehidupan sosial politik yang sehat sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nahl ayat 97 “barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Sebaliknya menolak atau ada keinginan mengaplikasikan aturan yang dapat melahirkan kekacauan, keburukan, kebangkrutan dan kerusakan dalam kehidupan maka akan melahirkan kehidupan yang sempit, timpang dan kecelakaan di akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Thahaa ayat 12-126 “dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpun aku dalam keadaan buta padahal dahulunya aku seorang yang melihat”. Allah berfirman ”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami maka kamu melupakannya dan begitu pula pada hari ini kamu dilupakan”.

Upaya mewujudkan Pilkada damai di Aceh, salah satu entry point adalah mengkoordinir potensi religius masyarakat. Damai yang kita pekikkan mesti mengikutsertakan Allah sebagai penopang kebijakan. Sebab dalam esensi ajaran Islam, bahwa setiap keberhasilan dan perjuangan karena disertai ridha Allah dengan rahmat-Nya yang Maha Rahim dan Rahman. Inilah agaknya yang selama ini terasa ditinggalkan sehingga setiap kebijakan lebih mengedepankan aspek teknis secara mekanik, bukan ditopang  atas mengharap ridha Allah SWT. Padahal Islam dan Syari’at dalam terminologi Aceh, lage zat ngon sifeut. Akhirnya kepada para kandidat dan tim suksesnya sejatinya dapat memerdekakan rakyat Aceh melalui proses Pilkada damai dengan berkampanye secara beradab yang mengedepankan kepentingan publik berdasarkan hukum, syari’at Islam dan hati nurani. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar